Balada Tembakau, Disukai Tapi Juga Dibenci

Sabtu 25-06-2022,16:44 WIB
Oleh: Ari Baskoro

Melalui “perjuangan” yang cukup panjang, akhirnya Peraturan Wali Kota tentang Kawasan Tanpa Rokok (Perwali KTR), mulai diterapkan di Surabaya. Sudah berlaku efektif sejak tanggal 20 Juni 2022. Perwali Surabaya No.110 tahun 2021 itu, memperkuat Perda Kota Surabaya No.2 tahun 2019. Penerapan KTR berlaku pada area tertentu. Sarana kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum yang ditetapkan, merupakan tempat pemberlakuan Perda tersebut. Ada tempat tertentu yang masih diperbolehkan untuk merokok. Di lokasi tersebut, disediakan tempat khusus dengan persyaratan yang telah ditetapkan.  Peraturan ini berlaku juga untuk rokok elektrik, seperti vape dan sisha.  

Fakta tentang rokok/tembakau

A cigarette is a pinch of tobacco rolled in paper with fire at one end a fool at the other (sebatang rokok adalah sejumput tembakau yang digulung di atas kertas dengan api di satu ujung dan orang bodoh di ujung yang lain). Sejauh itukah predikat yang pantas untuk disematkan pada seorang perokok? Namun kata-kata bijak dari George Bernard Shaw tersebut, patut direnungkan secara mendalam. Dia adalah seorang penulis berkebangsaan Irlandia dan Inggris. Peraih Nobel Sastra tahun 1925. 

Demikian pentingnya masalah rokok, membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selalu memperingati hari tanpa tembakau sedunia (World No Tobacco Day). Secara berkesinambungan diperingati setiap tahunnya pada tanggal 31 Mei. Ada banyak faktor yang melatarbelakanginya. 

Fakta-fakta yang sangat mengejutkan telah disampaikan WHO, bahwa : 

Tembakau dapat “membunuh” 50 persen dari penggunanya.

Lebih dari delapan juta orang di seluruh dunia meninggal karenanya. Sekitar tujuh juta dari jumlah tersebut, meninggal akibat dampak langsung penggunaan tembakau. Sisanya merupakan perokok pasif akibat “kesembronoan” seorang perokok yang tidak mau memperhatikan hak-hak individu lainnya. Seharusnya mereka berhak menikmati udara bersih tanpa asap rokok. 

Lebih dari 80 persen pengguna tembakau yang diperkirakan total berjumlah 1,3 miliar jiwa di seluruh dunia, adalah berasal dari negara-negara berpendapatan rendah sampai sedang. 

Data di Indonesia sendiri tidak kalah mirisnya. Setiap tahun, sekitar 225.700 orang meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau. Menyitir data survei nasional yang membandingkan antara tahun 2013 dan 2018, penggunaan tembakau masih tergolong tinggi pada kalangan dewasa dan remaja. Prevalensi pada orang dewasa selama kurun waktu lima tahun tersebut, belum menunjukkan tren penurunan. Pada perokok usia remaja (10-19 tahun) justru meningkat dari 7,2% pada tahun 2013 menjadi 9,1% pada tahun 2018. Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan tahun 2018, menunjukkan prevalensi perokok di atas usia 15 tahun mencapai 33,8%

Data yang diperoleh dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS)  tahun 2019, pelajar yang pernah menggunakan produk-produk tembakau adalah : (1) sekitar 40,6% pelajar di Indonesia yang berusia 13-15 tahun (2) dua dari tiga anak laki-laki (3) hampir satu dari lima anak perempuan. Lebih lanjut, saat itu sebanyak 19,2% pelajar adalah perokok dan 60,6% dari jumlah tersebut, tidak berusaha untuk dicegah ketika membeli rokok, terkait usia mereka. Sebagian besar dari pelajar perokok tersebut “terinspirasi” melalui iklan di televisi, kios-kios penjualan, internet atau melalui media sosial. Tidaklah mengherankan bila Indonesia disematkan sebagai “pemegang medali perunggu” sebagai perokok peringkat ketiga tertinggi di dunia, setelah Tiongkok dan India.

Data yang sangat “memprihatinkan” dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2020. Konsumsi rokok menempati peringkat kedua setelah beras, dalam belanja rumah tangga di Indonesia. Ini mempunyai arti, betapa egoisnya seorang perokok yang tega mengorbankan anggota keluarga lain. Demi memilih membelanjakan rokok ketimbang membeli makanan bergizi!  


Petani merawat tanaman tembakau yang menjadi salah satu bahan dasar pembuatan rokok-Foto-foto : istimewa-

Aspek Ekonomi

  Tembakau juga mempunyai “sisi positif”. Ada aspek kontribusi ekonominya. Terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja yang bisa menurunkan angka pengangguran. Sumbangsih cukai dan devisanya untuk pendapatan negara, layak diperhitungkan. Indonesia merupakan negara ke enam sebagai produsen terbesar tembakau di dunia setelah Tiongkok, Brasil, India, Amerika Serikat dan Argentina. Industri Hasil Tembakau (IHT) menjadi salah satu sektor manufaktur nasional yang strategis. Sektor ini memiliki keterkaitan luas, mulai dari hulu hingga hilir. Selain itu juga berkontribusi besar dan berdampak luas terhadap aspek sosial, ekonomi, maupun pembangunan bangsa Indonesia.

Data tahun 2019 yang dimiliki Kementerian Perindustrian mencatat, tenaga kerja yang terserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang. Pada tahun 2018, nilai ekspor rokok dan cerutu mencapai USD 931,6 juta atau meningkat 2,98 % dibanding tahun 2017 yang sebesar USD 904,7 juta. Sepanjang tahun 2018, penerimaan cukai rokok menembus angka Rp 153 triliun atau lebih tinggi, dibanding perolehan tahun 2017 yang sebesar Rp 147 triliun. Penerimaan cukai ini berkontribusi sebesar 95,8% terhadap cukai nasional. Cukai bertujuan meregulasi harga jual rokok.  Diharapkan dengan harga jual tertentu yang dinilai cukup tinggi, dapat menurunkan konsumsi rokok. Tujuannya adalah menurunkan prevalensi penyakit terkait rokok. Namun harus dipahami, selain memberikan pemasukan, beban pemerintah akibat rokok dan tembakau semakin meningkat. Lebih banyak dampak merugikannya, dibandingkan besaran kontribusi cukai tembakau pada penerimaan negara. Kerugian ekonomi secara makro akibat penggunaan tembakau dinilai Kementerian Kesehatan menunjukkan tren yang meningkat. Diperkirakan kerugian ini mencapai tiga hingga empat kali lipat, dibanding penerimaan negara yang berasal dari cukai tembakau. 

Tags :
Kategori :

Terkait