Di antaranya, 23,1 persen ogah divaksin karena takut efek samping. Sebanyak 8,8 persen tidak percaya akan efektivitas vaksin. Tapi, jumlah itu lebih baik ketimbang tahun lalu yang mencapai sekitar 35 persen. ”Memang, masih ada yang belum mau akibat efek samping. Sebagian yang lain juga masih tidak percaya vaksin,” lanjut Jibril.
Pakar epidemiologi Unair dr Windhu Purnomo pun meminta agar orang-orang yang belum disuntik vaksin itu tak ditinggalkan. Sebab, fenomena seperti itu memang biasa terjadi di masyarakat Indonesia. Misalnya, dulu juga banyak yang menolak vaksin campak atau polio.
Windhu menyarankan untuk memprioritaskan yang lebih mudah dikejar. Dari data BPS itu, misalnya, bisa dimulai dengan mendorong mereka yang takut efek samping vaksin. Yakni, dengan edukasi intens mengenai keamanannya.
”Mereka yang belum mengikuti dosis kedua atau booster juga harus diperhatikan,” tuturnya. Ia juga meminta masyarakat agar tidak terpengaruh isu liar. Bahwa jarak terlalu lama antara dosis 1 dan 2 akan menghilangkan sama sekali efektivitas vaksin. (*)