Katrol Maestro

Selasa 19-07-2022,06:00 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

HANYA dua hari di Surabaya, saya harus kembali ke Jogja. Di akhir pekan kemarin. Menghadiri pembukaan pameran anak saya Nizar Mohammad dan kawan-kawan. Yang tergabung dalam Sekawan Project. Kumpulan seniman mahasiswa ISI yang bermula dari rumah kontrakan.

Pameran dengan tajuk The Other Side; Grass is Always Greener itu digelar di Ada Sarang. Galeri milik perupa Jumaldi Alfi. Butet Kartaredjasa-lah yang membuka pameran para pelukis pemula itu. Digelar bersamaan dengan Artwork Exhibition yang melibatkan para maestro Jogja.

Saya juga menyempatkan hadir ke acara Titi Kolo Mongso di studio milik Nasirun, maestro yang juga tinggal di Jogja. Inilah acara kolaborasi Sujiwo Tejo dengan Nasirun, perupa yang karyanya bernilai ratusan juta itu. Keduanya melukis bareng sambil rekaman podcast. Di atas kanvas besar.

Seniman dan budayawan berdatangan. Ada Nirwan Dewanto, Romo Sindhunata, Joko Pekik, Butet Kartaredjasa, Agoes Noer, Mikke Susanto, dan Iwan Yusuf. Yang terakhir itu perupa asal Gorontalo yang karyanya mengimitasi relief tersembunyi di Sarinah, Jakarta.

Bagi para seniman dan penikmat seni, Jogja telah menjadi kota yang sangat mewah. Yang menyediakan berbagai oase untuk memperkaya diri dengan sesuatu di luar urusan kerja. Dalam sehari, bisa menikmati lebih dari tiga peristiwa kesenian.

Di antara tiga peristiwa kesenian itu – dan masih banyak lagi peristiwa yang bersamaan di Jogja – Artwork Exhibition menjadi event terobosan. Sebab, pameran dengan titel Bangkit Berkarya Lagi itu bisa disebut model baru dalam pemasaran karya seni lukis di Indonesia.

Terobosan? Ya. Sebab, dalam pameran itu terjadi katrol-mengatrol antara seniman pemula dan seniman maestro. Para perupa yang sudah tersohor namanya mengangkat para seniman baru dalam penjualan karya-karya mereka.

”Idenya sebetulnya terinspirasi Pasar Seni ITB. Namun, dengan modifikasi baru. Untuk mengangkat para seniman muda. Juga, meneruskan ide Pasar Cemangking yang belum lama ini berlangsung di Mojokerto, Jatim,” kata Butet Kartaredjasa.

Pasar Cemangking Mojokerto digelar di studio No Body milik perupa Joni Ramlan (baca: Pasar Cemangking, Membangkitkan Seni Lukis dari Keterpurukan, ngopibareng.id, 7 Juni 2022). Pasar seni itu melibatkan karya Joko Pekik, Putu Sutawijaya, Butet Kartaredjasa, Ugo Untoro, Iwan Yusuf, dan Joni Ramlan.

Sebanyak 130 lukisan karya perupa dari berbagai daerah ludes alias sold out. Bisa ludes karena setiap pembeli lukisan senilai Rp 750 ribu berhak mengikuti undian membeli karya maestro dengan hanya Rp 5 juta. Harga lukisan yang dipamerkan Rp 750 ribu sampai Rp 3 juta.

”Ini adalah konsep gotong royong antar para seniman. Gotong royong untuk bangkit kembali setelah dua tahun lebih terpuruk akibat pandemi. Ini betul-betul pelaksanaan nilai-nilai Pancasila di kalangan seniman,” terang Butet.

Pasar Seni ITB bisa menjadi inspirasi awal dari model marketing seni rupa dengan cara gotong royong itu. Kali pertama digelar 1972 atas prakarsa Prof A.D. Pirous. Inilah ajang pameran pertama yang mempertemukan secara langsung antara perupa dan masyarakat.

Pirous terinspirasi oleh tradisi Garage Sale di Amerika Serikat (AS). Tradisi yang ia ketahui setelah ia dan kawan-kawannya berkesenian ke Negeri Paman Sam itu. Kebetulan karya-karya mereka menjadi yang terlaris sehingga mendapat penghargaan dari panitia.

Sepulang dari AS, mereka menggelar pasar seni yang kemudian dikenal dengan Pasar Seni ITB. Pasar seni itu pun terus berlangsung hingga sekarang. Hanya sempat prei ketika pandemi melanda negeri ini.

Yang membedakan Pasar Seni ITB dengan terobosan marketing seni di Mojokerto dan Jogja adalah mekanisme pembeliannya. Mekanisme yang bisa mengatrol alias mencangking atau menjijing perupa pemula oleh para maestro. Dengan model undian voucher dari hasil pembelian karya.

Terobosan baru pemasaran karya lukis itu ternyata mendapat sambutan luar biasa. Banyak orang tertarik membeli karya perupa pemula karena ingin memiliki karya maestro dengan harga sangat miring. Bayangkan, dengan Rp 5 juta bisa memiliki karya Nasirun atau Joko Pekik.

”Saya ikut pameran yang menjual karya dengan harga semurah-murahnya,” kata Joko Pekik. ”Peristiwa ini memberi kesempatan para penikmat seni bisa memiliki karya-karya dengan harga cukup murah,” tambah Jumaldi Alfi.

Menurut saya, maestro mengatrol seniman pemula atau juniornya tentu sangat bagus. Ia akan menjadi bagian dari distribusi akses pasar di kalangan seniman. Seperti seorang CEO membina calon pemimpin perusahaan yang andal di korporasi.

Rupanya, dunia kreatif tak hanya perlu kreatif dalam memproduksi karya. Perlu juga kreatif dalam memasarkan karya-karya mereka. Para seniman sekarang tampaknya telah mempu merespons dinamika zaman. Tidak hanya dalam bentuk ekspresi dalam karya, tapi juga bagaimana karya mereka dinikmati orang.

Pasar seni atau apa pun namanya menjadikan seniman tetap bisa pamer karya meski tak ada galeri. Juga, menjadikan kesenian bukan barang yang eksklusif. Apalagi, sekadar seni untuk seni. Zaman itu telah terlampaui. Bahkan dengan cara yang lebih melesat lagi.

Struktur pasar seni juga telah berubah. Dengan makin banyaknya kelas menengah baru, karya seni akan menjadi komoditas yang terus menggeliat. Ketika masyarakat tidak lagi berkutat hanya pada kebutuhan pokok. Setelah cukup, mereka pasti akan cenderung mencari kepuasan hati.

Ke depan, pasar seni tersebut saya perkirakan akan tumbuh terus. Itu seiring dengan makin tingginya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Yang kini sudah menduduki posisi ketujuh sebagai negara terkaya di dunia. Yang diukur lewat GDP alias gross domestic product.

Pasar kesenian telah bertumbuh dengan makin besarnya kelas menengah. Terobosan pemasaran karya seni makin beragam. Pilihan tinggal pada seniman: menjadi kelompok bangkit bersama atau yang tertinggal. (*)


--

Kategori :