Kontroversi Royalti Musik di Tempat Usaha

Kontroversi Royalti Musik di Tempat Usaha

ILUSTRASI Kontroversi Royalti Musik di Tempat Usaha.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BAYANGKAN jika W.R. Soepratman hidup di zaman ini. Lagu Indonesia Raya ciptaannya yang sering diputar di sekolah, kantor, dan stadion disambut dengan penuh hormat, tetapi tetap tak pernah menghasilkan royalti baginya. Bila dihitung berdasarkan sistem royalti yang kini sedang ramai dibicarakan, bisa jadi beliau sudah masuk daftar orang terkaya di Indonesia. 

Tapi, kenyataan berkata lain: ia wafat dalam kesunyian, jauh dari gemerlap apresiasi yang seharusnya diterima seorang pencipta karya monumental.

Itu bukan sekadar imajinasi. Itulah kenyataan yang membuka mata: bagaimana kita, sebagai masyarakat, masih belajar memahami makna menghargai karya cipta, bukan hanya dengan tepuk tangan, melainkan juga dengan sistem yang memungkinkan nilai itu bermanfaat bagi segenap pemangku kepentingan.

BACA JUGA:Klarifikasi LMKN: Lagu Indonesia Raya Tak Kena Royalti

BACA JUGA:Wani! Lagu Persebaya Song For Pride Gratis Diputar di Tempat Usaha Tanpa Royalti

Beberapa bulan terakhir, wacana soal royalti musik di tempat usaha jadi ramai dibicarakan. Banyak pelaku usaha kecil –terutama kafe, kedai kopi, dan restoran– mengeluh soal kewajiban untuk membayar royalti ketika memutar lagu di tempat mereka. 

Di sisi lain, ada juga musisi yang merasa takut tampil, takut lagu yang mereka bawakan ”menimbulkan masalah”. Publik, tentu saja, ikut bersuara. Ada yang bingung, ada yang sinis, ada juga yang berkomentar pedas tanpa solusi.

Muncullah pertanyaan: kenapa hal yang terlihat sederhana seperti memutar lagu sambil ngopi bisa jadi heboh dan ribut ke mana-mana?

BACA JUGA:Mahamuni Paksi, Anak Pencipta Lagu Bento Bicara Royalti (1): Dana Diterima, Lalu Hanya Bisa Nriman

BACA JUGA:Mahamuni Paksi, Anak Pencipta Lagu Bento Bicara Royalti (2-habis): Peluang Korupsi Masih Ada

Sebagian dari jawabannya mungkin terletak pada perasaan tidak adil. Dalam psikologi, itu dikenal dengan equity theory yang dikemukakan John Stacey Adams. Manusia cenderung menilai suatu situasi dari perbandingan antara usaha yang mereka keluarkan dan hasil yang mereka terima. 

Ketika pemilik usaha merasa ”hanya putar lagu sebentar” tapi harus membayar royalti, sementara manfaatnya tak terlihat langsung, di situlah lahir persepsi ketimpangan. Di sisi lain, musisi pun banyak yang berkata, ”Lagu saya sering diputar, tapi saya tidak pernah tahu uangnya pergi ke mana.”

Perasaan-perasaan itu, jika dibiarkan, bisa menimbulkan disonansi kognitif sebagaimana dijelaskan Leon Festinger –sebuah konflik batin antara apa yang diyakini dan apa yang dilakukan. 

BACA JUGA:Ari Lasso Tantang WAMI Paparkan Rumus Pembagian Royalti: Boleh Pakai Aljabar Sampai Mekanika Kuantum

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: