Kontroversi Royalti Musik di Tempat Usaha

ILUSTRASI Kontroversi Royalti Musik di Tempat Usaha.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Apresiasi tidak selalu harus datang dalam bentuk besar. Menggunakan lagu dengan cara yang adil, memberi ruang tampil bagi musisi lokal agar karyanya dikenal dan ekosistem musik terus tumbuh, atau menyebarkan informasi tentang lisensi musik bisa menjadi bentuk nyata penghargaan.
Jika dilakukan bersama, langkah-langkah kecil itu bisa membentuk budaya apresiasi yang lebih kuat dari sekadar aturan formal.
Namun, dalam membicarakan musik, kita pun tidak bisa menutup mata terhadap isi dan tujuan dari lagu itu sendiri. Musik bukan sekadar hiburan; ia adalah media yang membentuk manusia. Howard Gardner, melalui teori multiple intelligences-nya, memperkenalkan konsep kecerdasan musikal sebagai salah satu jenis kecerdasan utama manusia.
Musik yang baik bisa membantu perkembangan bahasa, empati, dan pengendalian emosi, khususnya pada anak-anak. Sebaliknya, musik yang miskin makna justru bisa menjadi polusi yang merusak daya pikir, emosi, dan rasa.
Di sisi lain, George Gerbner melalui cultivation theory menjelaskan bahwa paparan media jangka panjang –termasuk musik– akan membentuk persepsi kita terhadap realitas. Lagu yang terus diputar di ruang publik bukan hanya menyampaikan pesan, tapi juga membudidayakan nilai-nilai tertentu.
Jika lagu yang kita dengar sehari-hari penuh glorifikasi kekerasan, seks bebas, atau pamer kekayaan kosong, bisa jadi kita sedang menanam benih nilai-nilai itu dalam jiwa masyarakat tanpa disadari.
Kita tidak sedang menyalahkan genre, tapi mengajak refleksi: lagu apa yang kita biarkan masuk ke ruang dengar anak-anak bangsa? Sebab, ketika musik tumbuh di hati, ia tak sekadar menghibur –ia menetap di ingatan, dan membentuk karakter dan cara pandang manusia terhadap dunia.
Maka, saat kita bicara tentang hak atas lagu, mari jangan lupa juga hak masyarakat untuk bertumbuh bersama lagu yang bernilai.
Dan, mungkin, ini saatnya kita juga memikirkan inovasi. Mengapa tidak ada platform musik lokal yang menyediakan lisensi sederhana khusus untuk UMKM? Atau, kampanye edukasi publik yang menggandeng musisi dan pelaku usaha dalam satu panggung? Atau lagu-lagu kolaboratif antara komunitas kafe dan komunitas musik yang bisa diputar bebas dan adil?
Kreativitas adalah jalan keluar dari kebuntuan. Tidak hanya untuk membangun kolaborasi, tapi juga sebagai semangat untuk terus berkarya dan menciptakan lagu-lagu yang bermutu tinggi. Ketika semua pihak merasa didengar dan dilibatkan, solusi bisa muncul dari bawah-bukan selalu dari pusat.
Mungkin inilah kesempatan bagi kita untuk memperlihatkan bahwa bangsa ini tidak hanya bisa memutar lagu, tapi juga bisa mandiri menyusun harmoni nada-nada yang indah.
Sebab, pada akhirnya, bukan lagunya yang salah. Bukan pula lisensinya. Mungkin kita hanya perlu belajar kembali bagaimana cara mendengar –tidak hanya musiknya, tapi juga suara hati pencipta, pelaku usaha, dan publik yang ingin hidup dalam semangat saling menghargai.
Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan perbuatan ihsan (baik) pada tiap-tiap sesuatu.” (H.R. Muslim). Hadis itu menjadi rujukan penting dalam etika Islam. Maka, dalam ekosistem musik sekalipun, hendaknya kita menanamkan nilai ihsan: mencipta dengan niat baik, mendengar dengan niat belajar, dan menghargai dengan niat membangun.
Barangkali inilah panggilan zaman bagi kita semua. Untuk tidak hanya memutar lagu, tapi juga memastikan bahwa nada-nada yang mengalun membawa makna, nilai, dan arah bagi beradaban manusia.
Musik bukan sekadar bunyi yang hilang di udara, melainkan juga gema yang bisa tinggal lama dalam jiwa. Dan, jika benar kita peduli pada masa depan bangsa, kita pun mesti peduli pada lagu-lagu yang tumbuh di dalamnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: