Kontroversi Royalti Musik di Tempat Usaha

Kontroversi Royalti Musik di Tempat Usaha

ILUSTRASI Kontroversi Royalti Musik di Tempat Usaha.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Ari Lasso Kritik WAMI Soal Pengelolaan Royalti, Soroti Salah Transfer dan Minim Transparansi

Kita percaya bahwa karya seni perlu dihargai, tapi kita juga merasa keberatan saat ada mekanisme penghargaan yang melibatkan biaya. Maka, muncullah pembenaran, ”Ah, lagunya cuma sebentar,” atau ”Toh, musisinya sudah terkenal”. Padahal, inti masalahnya bukan soal panjang lagu atau popularitas musisi, melainkan soal kesadaran untuk membangun budaya saling menghargai. 

Masalah menjadi lebih kompleks ketika social proof ikut bermain, sebagaimana dijelaskan Robert Cialdini. Banyak pelaku usaha merasa ”tidak sendirian” dalam mengabaikan sistem itu. 

Ketika tempat lain juga tidak bayar, dan semuanya tampak baik-baik saja, maka pilihan untuk ikut arus jadi masuk akal. Sayangnya, itulah titik di mana kebiasaan kolektif mengalahkan prinsip-prinsip regulasi.

BACA JUGA:Polemik Royalti, Arsul Sani Minta Musik di Acara Pernikahan Tidak Dikenai Royalti

BACA JUGA:Menkum Tegaskan Royalti Bukan Pajak, Siapkan Regulasi Baru Agar Lebih Transparan

Namun, sekeras apa pun suara keraguan di permukaan, sebenarnya ini adalah momen penting. Momen ketika kita bisa berhenti sejenak untuk introspeksi dan bertanya: apa yang sebenarnya sedang kita bangun sebagai bangsa? 

Apakah ruang publik kita akan menjadi tempat di mana musik hanya jadi ”pemutar suasana” atau justru menjadi ruang saling menghormati antara penikmat dan pencipta?

Dari perspektif kebijakan publik, ini bukan sekadar soal aturan, melainkan soal bagaimana kebijakan dijalankan dan diterima. Dalam teori policy implementation yang dikemukakan Mazmanian dan Sabatier, keberhasilan sebuah kebijakan sangat ditentukan komunikasi yang baik, pemahaman masyarakat, serta partisipasi dari semua pihak yang terdampak. Jika pendekatan yang dipakai adalah pemaksaan tanpa dialog, resistansi adalah konsekuensi yang logis.

BACA JUGA:Suara Burung pun Kena Royalti, LMKN Sarankan Pemilik Kafe Rekam Sendiri

BACA JUGA:Royalti Musik Wajib Dibayar, Pengusaha Mal Taat, Bos Kafe-Restoran Terbebani

Di saat yang sama, perlu juga dipahami bahwa pemutaran lagu di ruang publik bisa menjadi bentuk promosi yang menguntungkan pencipta lagu secara tidak langsung. Lagu yang sering diputar cenderung lebih dikenal, dan dari sanalah cuan datang. 

Peluang pentas, undangan kolaborasi, hingga peningkatan streaming bisa muncul. Maka, tidak heran bila ada yang bertanya, ”Kalau musik saya diputar dan jadi populer, mengapa tempat yang memutarnya, mempromosikannya justru harus membayar?”

Ini bukan soal benar atau salah, melainkan soal bagaimana mencari keseimbangan antara hak dan kontribusi. Di sinilah pentingnya dialog terbuka dan semangat saling memahami. 

Pelaku usaha merasa ikut membantu penyebaran karya, sementara pencipta lagu ingin memastikan bahwa kerja kreatifnya tetap dihargai secara adil. Keduanya tidak salah, hanya perlu duduk bersama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: