Mahamuni Paksi, Anak Pencipta Lagu Bento Bicara Royalti (2-habis): Peluang Korupsi Masih Ada

Mahamuni Paksi, Anak Pencipta Lagu Bento Bicara Royalti (2-habis): Peluang Korupsi Masih Ada

Mahamuni Paksi, putra mendiang musisi Naniel C Yakin. Ia bicara tentang royalti dan peluang korupsi yang masih terbuka lebar.-Subastian Salim-HARIAN DISWAY

Sebagian musisi mungkin menyambut baik upaya penarikan royalti. Khususnya menetapkan Rp 60 ribu per kursi per tahun untuk bidang usaha kafe, restoran, dan semacamnya. Namun, persoalannya kembali lagi: transparansi. Bisakah jujur soal anggaran?

Ditanya soal sistem baru terkait royalti, Mahamuni Paksi, anak mendiang musisi Naniel C Yakin, menyambut baik. Sekaligus pesimis.

Tentu dengan tarif 60 ribu per kursi per tahun, hasil yang didapat oleh LMK akan banyak. Tapi hasil yang diterima pencipta lagu belum tentu sepadan. 

BACA JUGA:Mahamuni Paksi, Anak Pencipta Lagu Bento Bicara Royalti (1): Dana Diterima, Lalu Hanya Bisa Nriman

Paksi menopang dagu sejenak. Lalu tertawa sinis. "Keberadaan LMKN itu untuk menutup peluang-peluang korupsi yang dilakukan LMK. Tapi tidak menutup kemungkinan peluang korupsi terjadi di tingkat LMKN. Itu jika penganggarannya tidak transparan," katanya.


Mendiang Naniel C Yakin, ayah Mahamuni Paksi. Ia merupakan salah seorang pencipta lagu Bento milik grup legendaris Swami.-Leo Arief Budiman-Facebook

"Gini lho, ya.. Jumlah kafe dan resto di Indonesia ada berapa? Ribuan. Mungkin jutaan. Tentu butuh SDM dari LMK yang mendatangi tiap tempat itu. Untuk melakukan pengawasan. Lalu mencatat lagu apa saja yang diputar," ujarnya. 

Mendatangi tiap tempat butuh transport. Butuh konsumsi. "Nah, dana operasional itu datang dari mana? Kalau tidak ada dari LMKN, bisa saja mereka motong dana royalti," terangnya. 

BACA JUGA:Ari Lasso Tantang WAMI Paparkan Rumus Pembagian Royalti: Boleh Pakai Aljabar Sampai Mekanika Kuantum

Datang ke ribuan tempat itu tentu butuh ribuan orang. Satu per satu dikirim untuk melakukan pengawasan. Apakah tim yang dimiliki LMKN atau LMK mencukupi?

"Itu persoalannya. Butuh banyak orang. Belum lagi jika sampai di sebuah tempat usaha, pemilik usahanya menyuap pengawas itu. Ngasih amplop. Supaya mereka tidak ditarik royalti. Lalu pengawas itu mencatat bahwa tempat usaha tersebut tidak memutar musik apa pun. Bisa terjadi, kan?" terang anak kedua dari tiga bersaudara itu.

Maka, peluang kecurangan tidak hanya korupsi uang. Tapi juga suap-menyuap. Semakin rumit. Menurut Paksi, LMKN posisinya berada di atas LMK-LMK.

BACA JUGA:Ari Lasso Kritik WAMI Soal Pengelolaan Royalti, Soroti Salah Transfer dan Minim Transparansi

Keberadaan LMKN seharusnya memudahkan koordinasi dan distribusi pendapatan dari LMK kepada para musisi. Tapi SDM, termasuk mental SDM-nya belum siap. Terutama masalah kejujuran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: harian disway