Tujuh Jam Akhir Hidup Yosua

Rabu 20-07-2022,06:00 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Media massa sulit mengabaikan berita polisi tembak polisi. Sebab, kuasa hukum korban terus bercerita. Terbaru, tentang locus delicti dan tempus delicti. Itulah fondasi kasus ini.

TAK dinyana, Komaruddin Simanjuntak, kuasa hukum keluarga korban Brigadir Nopriansah Yosua Hutabarat, sangat gigih. Ia gencar memberikan keterangan pers terkait perkara itu. Selalu ada yang baru.

Terpenting, Komaruddin menyoal locus delicti dan tempus delicti. Atau, tempat kejadian perkara dan waktu kejadian perkara. Dalam pengungkapan perkara pembunuhan, itulah fondasi perkara.

Artinya, Komaruddin tidak percaya dengan keterangan resmi Polri. Dan, sudah terpublikasi. Bahwa locus delicti di rumah dinas Kadivpropam Irjen Ferdy Sambo, kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan.

Tempus delicti , Jumat, 8 Juli 2022, sekitar pukul 17.00.locu

Komaruddin: ”Tindak pidana ini diduga terjadi Jumat, 8 Juli 2022, antara pukul 10.00 sampai dengan pukul 17.00. Locus delicti-nya adalah kemungkinan besar antara Magelang dan Jakarta. Itu alternatif pertama. Alternatif kedua, locus delicti-nya di rumah Kadivpropam Polri atau rumah dinas di Duren Tiga, Kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.”

Jadi, locus delicti lebar. Tempus delicti panjang.

Dasar pernyataan Komaruddin adalah keterangan orang tua Yosua: Ayah (Samuel Hutabarat) dan ibunda (Rosti Simanjuntak) yang guru SD di Jambi.

Pada Jumat, 8 Juli 2022, ortu berkomunikasi telepon dengan Yosua. Ortu di Balige, Sumatera Utara. Yosua di Magelang, Jawa Tengah. Yosua mengawal keluarga Irjen Ferdy Sambo, mengurus sekolah anak di SMA Taruna Nusantara, Magelang.

Komaruddin: ”Waktu itu pihak keluarga sedang berziarah di Balige. Telepon WA dengan anak klien kami Yosua di Magelang. Itu Jumat, 8 Juli 2022, pukul 10.00.”

Yosua mengatakan lewat telepon, dirinya sebentar lagi berangkat ke Jakarta. Maka, ia meminta agar ortunya jangan menelepon atau kirim pesan WA. Sampai sekitar tujuh jam ke depan. Sebab, tidak etis ketika Yosua bertugas menerima telepon atau pesan dari ortu.

Ada perkataan ”tujuh jam ke depan” karena Yosua memperkirakan perjalanan Magelang – Jakarta dengan naik mobil sekitar durasi itu.

Pihak keluarga menuruti permintaan Yosua. Mendukung pekerjaan Yosua, agar fokus melaksanakan tugas. Tapi, pihak keluarga berjanji menelepon lagi sekitar tujuh jam kemudian.

Persis pukul 17.00 (tujuh jam kemudian), pihak keluarga menelepon Yosua lagi. Tidak bisa. Bukan telepon tidak diangkat Yosua atau koneksi tidak tersambung. Bukan. Melainkan, tidak bisa.

Komaruddin: ”Tidak bisa karena di-WhatsApp ternyata sudah terblokir. Dengan terblokirnya nomor-nomor mereka, baik nomor ayahnya, ibunya, termasuk kakak-adiknya, termasuk ke WhatsApp group keluarga, terblokir. Maka, keluarga mulai gelisah. Karena, hal itu sangat aneh.”

Dilanjut: ”Kemudian, pemblokiran berlanjut. Semua handphone keluarga, ayah-ibunya, handphone Yosua, kakak-adiknya, semua handphone tidak bisa dipakai. Mati, tidak bisa dipakai. Bersamaan. Bukan kehabisan baterai, ya... Mati, selama kurang lebih seminggu, barulah kemudian nyala lagi.”

Itu sebab, begitu jenazah Yosua diantarkan tim polisi dari Jakarta ke Jambi dengan pesawat kargo, begitu jenazah tiba di rumah duka, Selasa, 12 Juli 2022, pihak keluarga langsung bertanya ke polisi pengantar jenazah: HP Yosua mana?

”Dijawab polisi, hilang,” kata Samuel Hutabarat, ayah Yosua, kepada wartawan.

Apalagi, menurut Samuel, tim polisi pengantar jenazah melarang pihak keluarga membuka peti jenazah. Itu membuat pihak keluarga makin penasaran. Nekat peti dibuka. Jenazah diperiksa. Difoto, direkam video HP. Hasilnya, kondisi jenazah dikatakan Komaruddin begini:

Komaruddin: ”Fakta di jenazah anak klien kami bukan hanya luka tembak. Tetapi, banyak luka sayatan, luka memar. Bahkan, bahunya bergeser hingga giginya rusak. Rahangnya bergeser.”

Diperinci: Luka sayat di bawah mata. Luka di hidung, sudah dijahit, dua jahitan. Luka sayat di bibir dan leher. Luka menganga terbuka di bahu kanan. Memar di rusuk. Jari tangan terpotong, jari kaki tersayat. Tulang rahang bergeser, gigi rusak.

Komaruddin: ”Semua itu ada foto-fotonya, juga ada video. Sudah kami serahkan semua saat kami melapor ke Bareskrim Polri.”

Dari situlah kemudian Komaruddin berkesimpulan, Yosua dibunuh lebih dari satu orang.

Komaruddin: ”Karena, bentuk lukanya aneka macam. Juga, HP anak klien kami dikuasai pembunuh. Otomatis, ada penyiksaan agar anak klien kami memberitahukan password HP yang terkunci.”

Komaruddin melapor ke Bareskrim Polri pada Senin,18 Juli 2922. Laporan polisi teregistrasi di nomor STTL/251/VII/2022/Bareskrim.

Dalam laporan tercatat, pelapor adalah Komaruddin Simanjuntak selaku koordinator kuasa hukum keluarga Brigadir J, dengan terlapor ”masih dalam penyelidikan”.

Justru, Komaruddin tidak melaporkan Bharada E yang disebut Polri sebagai pelaku tembak-menembak dengan Yosua. Terlapornya ditulis: ”Masih dalam penyelidikan”.

Mengapa? ”Karena kami tidak yakin Bharada E pelakunya. Bahkan, apakah Bharada E itu ada? Belum pernah ditunjukkan polisi,” jawab Komaruddin.

Mengapa tidak yakin bahwa pelaku Bharada E? ”Ya, kami tidak yakin. Pelakunya bukan satu orang. Lebih dari satu,” jawabnya.

Laporan yang diterima Bareskrim adalah soal pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP atau pembunuhan sesuai Pasal 338 KUHP dan penganiayaan berat yang menyebabkan matinya Brigadir J sesuai Pasal 351 KUHP.

Komaruddin juga melaporkan HP Yosua yang hilang. ”Di HP itu ada empat nomor,” ujar Komaruddin. ”Juga, soal peretasan HP klien kami sekeluarga.”

Tapi, polisi belum melayani laporan yang itu. Sebab, pelapor tidak bisa memberikan bukti peretasan HP milik Samuel Hutabarat sekeluarga. Bagaimana cara membuktikan itu?

Sedangkan HP Yosua masih dicari penyidik.

Komaruddin menyampaikan fakta dan dugaan. Fakta, berupa pembicaraan telepon antara Yosua dan ortunya pada Jumat, 8 Juli 2022, pukul 10.00 ke bawah.

Tapi, secara hukum, itu juga sulit dibuktikan. Sebab, Komaruddin menyatakan, HP sekeluarga Yosua diretas sejak Jumat, 8 Juli 2022, sampai sekitar sepekan kemudian. Yang, itu juga sulit dibuktikan.

Fakta, foto-foto dan rekaman video tentang kondisi jenazah Yosua. Karena itu, pihak keluarga menuntut autopsi ulang terhadap jenazah Yosua.

Dugaan, pembunuhan berencana terhadap Yosua dilakukan oleh lebih dari satu orang. Dan, penganiayaan.

Jika kasus itu melebar ke mana-mana, dengan topik beragam, karena kasus ini rumit dibuktikan.

Melebarnya kasus tersebut tentu memengaruhi jalannya penyidikan tim bentukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kini tim sedang bekerja.

Media massa tampak tidak bisa menahan diri untuk tidak memberitakan kasus itu. Setiap hari selalu ada beritanya. Pasalnya, kuasa hukum keluarga korban menyampaikan berbagai hal kepada wartawan.

Mayoritas media massa berpihak kepada pemerintah, termasuk kepada Polri. Tapi, media massa juga wajib memberikan keadilan akses, dalam menyuarakan informasi dari berbagai pihak berkompeten, terkait kasus ini.

Repotnya, berita-berita di media massa tentang kasus itu membuat publik berspekulasi. Yang disebut ”spekulasi liar”. Itulah ekses negatif.

Spekulasi publik pasti berhenti setelah kasus tersebut ditangani tim penyidik (bentukan Kapolri) secara objektif dan adil. Setelah hasilnya diumumkan. (*)

Kategori :