SURABAYA, HARIAN DISWAY - Pemerintah Kota Surabaya saat ini tengah memproses rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang perubahan aturan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Kemarin (21/7), Pansus dari Komisi A DPRD Kota Surabaya mengadakan rapat dengar pendapat dengan para pengusaha.
Perwakilan dari para pengusaha pun datang. Mereka berasal dari Pakuwon Group, Ciputra Development, Grand City Mall, hingga Intiland. “Kami pengin dapat masukan dari semua pengusaha "gajah" yang hadir siang ini,” kata Ketua Pansus Syaifuddin Zuhri di ruang rapat Komisi A, Kamis, 21 Juli 2022.
Mengingat, tenggat waktu Raperda PBG itu makin dekat. Maksimal harus sudah final pada 15 Agustus nanti. Untuk itulah Pansus ingin memberi kesempatan bagi para pengusaha kelas atas agar ikut memberi kritik dan saran.
BACA JUGA:Komisi A DPRD Surabaya Kejar Gedung Tak Ber-SLF
Sayangnya, semua tamu undangan yang hadir bukan para pemilik langsung. Melainkan hanya jajaran manajemen. Sehingga rapat tidak berjalan maksimal.
"Padahal kami harap ada usulan yang mampu memberi terobosan baru," lanjut Zuhri. Misalnya, usulan tentang pembedaan retribusi antar wilayah. Bahwa retribusi bangunan di Surabaya bagian utara harus lebih kecil ketimbang bangunan di Surabaya bagian tengah.
Sebab, roda ekonomi di bagian utara lebih lambat. Dengan retribusi yang relatif kecil, para pengusaha diharapkan berani melakukan pembangunan di sana. Sehingga wajah pembangunan Kota Surabaya bisa lebih merata. Tidak terpusat di satu-dua bagian saja.
Itulah ketimpangan pembangunan yang terjadi selama ini. Wilayah utara dan barat tidak terlalu diminati bagi para pengusaha. Hasilnya putaran ekonomi pun tidak merata.
"Selalu hanya satu titik yang diinginkan semua pihak. Wajah kota kita nggak kebentuk. Ini yang gak adil,” lanjut Zuhri. Oleh karena itu, rapat diadakan agar para pengusaha juga bisa menyampaikan uneg-uneg. Barangkali regulasi bisa diringankan untuk membangkitkan pembangunan di wilayah yang ''tertidur''.
Apalagi Raperda PBG juga memukul rata retribusi. Tidak dibedakan antara bangunan komersial dan hunian. Semuanya dikenakan retribusi dengan hitungan yang sama.
"Itu saya kira bisa memicu ketidakadilan. Misalnya, masa retribusi hunian disamakan dengan tempat diskotek?" sahut Sekretaris Pansus Imam Syafi'i. Seharusnya juga disesuaikan. Maka para pengusaha lah yang berhak mengusulkannya.
Retribusi harus disesuaikan dengan fungsi gedung. Jika tidak, tentu akan mengurangi pendapatan asli daerah (PAD). "Kalau memakai aturan itu, kita hitung, pendapatan Kota Surabaya bisa turun sampai 30 persen," tandasnya.
Selain itu, Imam juga menyoroti penetapan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) yang dipakai dalam perhitungan retribusi. SHST Kota Surabaya masih Rp 6,2 juta/meter persegi. Seharusnya bisa dinaikkan lagi. Seperti Bali, misalnya, mencapai Rp 7,7 juta/meter persegi.
Minggu depan, Pansus kembali mengundang para pengusaha untuk rapat dengar pendapat. Ia berharap para pemilik perusahaan maupun yang berwenang di perusahaan bisa hadir langsung. Agar semuanya bisa bersinergi memberi kontribusi yang terbaik.
"Karena kami anggap pengusaha lah pahlawan ekonomi Kota Surabaya. Jadi saya sangat berharap kehadirannya. Mari dirembug bersama sebelum raperda ini benar-benar disahkan dan tak dapat diubah lagi," katanya.