Berangkat dari hobi, Susilowati, menapaki proses ke arah yang makin serius sebagai pelukis. Dari tempat tinggalnya di Banyuwangi, dia menggali banyak hal tentang kehidupan dan fenomena sosial yang bisa diangkatnya ke dalam kanvas.
Sulur akar menjalar ke berbagai sudut lukisan. Mengitari objek. Sesekali tampak beraturan, namun sebagian lagi longgar. Kacau, rumit, tapi tetap menjadi satu kesatuan harmonis. Jika dalam musik, seperti komposisi yang tak terpaku pada satu hitungan tempo atau metronome yang sama. Tak konstan. Berubah-ubah tapi tetap dapat dinikmati sebagai bangunan estetika yang menarik.
Seperti itulah gambaran lukisan Susilowati. Layaknya lagu Deep Purple berjudul Perfect Stranger, yang lebih rumit ketika dibawakan Dream Theatre. Terdapat pola komposisi dengan ketukan aneh, terutama ketika memasuki part melodi. Seperti irama dengan metronome yang tak dapat digunakan menjembatani irama selanjutnya, tapi ternyata bisa. "Saya memakai sulur-sulur itu untuk mengomunikasikan ragam fenomena yang terjadi dalam lingkungan sosial masyarakat," ungkapnya.
Karakter karya semacam itu tak begitu saja ditemukan Susilowati. Pencariannya cukup panjang. Tepatnya sejak 2002.
Awalnya, Susilowati berguru pada pelukis Banyuwangi, Mardiono. Berkat ketekunannya belajar, dia menguasai cara melukis dasar. Seperti mengenal lukisan realis serta penguasaan berbagai media melukis seperti pensil dan cat minyak. Hasil belajar itu lalu dikembangkannya menjadi usaha; menerima order lukisan wajah. Sambil tak lupa menambah portofolio dengan berpameran sejak 2004. "Semua berkat informasi dan ajakan dari Pak Mardiono," kenangnya.
Saat terus berpameran itulah, Susilowati mencoba mencari karakternya sendiri. Rupanya gaya Susilowati itu ditengara oleh beberapa pelukis senior Banyuwangi seperti N Kojin dan Sarwo Prasojo. Karakter itu pula yang membuat Susilowati menerima undangan untuk bergabung dengan komunitas Satu Sama yang menjadi wadah para pelukis ternama Banyuwangi. "Sebelum masuk saya diseleksi lho," ujar pelukis yang berdomisili di Genteng, Banyuwangi itu.
Seleksi itu mencakup keselarasan lukisan dengan tema serta aktivitas berseni rupa dalam beberapa tahun terakhir. "Tahapan-tahapan itu berhasil saya lewati dengan baik. Enggak kebayang sih bisa terpilih menjadi satu dari sembilan pelukis komunitas Satu Sama. Bagi saya ajakan ini adalah tantangan untuk makin serius jadi pelukis," ungkapnya.
Banyak hal yang dipelajari Susilowati dalam komunitas itu. Satu hal itu misalnya setiap kali berpameran, Satu Sama selalu menentukan satu hal yang tematik. "Tak sekadar gebyah uyah memajang lukisan dari berbagai tema dan genre," ujarnya.
Dengan cara itu, Susilowati biasa terarah dalam membidik makna yang hendak dia sampaikan. Seperti lukisan berjudul Sebelum Masa Tiba yang menggambarkan sarang burung di atas pohon yang telah kering. Dahan dan rantingnya rapuh. Sulur-sulur sarang tersebut pun tak terikat dengan kuat. Beberapa di antara simpulnya terurai. Namun yang ada dalam sangkar itu bukan anak burung. Melainkan kepingan-kepingan uang emas. Tentu uang tersebut dapat jatuh dengan mudah ketika diletakkan di atas penampa dan wadah yang rapuh.
Bila ditelaah lebih jauh, lukisan itu mengandung gagasan visual yang dalam tentang salah satu ayat dalam Lontar Yusup. Berisi kisah tentang tujuh daun hijau yang dilahap tujuh daun kering. Artinya tentang peringatan Nabi Yusuf agar menyiapkan segala kebutuhan jelang musim paceklik. "Sangat berkaitan dengan suasana pandemi dan situasi saat ini. Bila tak pintar-pintar menabung atau memanfaatkan uang, bisa jatuh bangkrut," ujarnya.
Pohon yang telah kering tersebut mengumpamakan situasi yang kurang cocok. Dalam perspektif masa kini, seseorang yang keliru berinvestasi atau seseorang salah dalam memanfaatkan uangnya, maka akan terjebak dalam situasi yang serba sulit. Wadah berupa sarang burung yang tak kokoh menyimbolkan ketidakmampuan seseorang dalam menyimpan uang.
--Namun dapat pula ditafsirkan sebagai fenomena dalam lingkungan keluarga. Sarang burung lazimnya berisi anak burung. Anak adalah aset dari setiap manusia. Setiap orang tua berharap bahwa anak dapat menjadi tongkat atau sandaran mereka di kemudian hari. Maka Susilowati mengubah figur anak menjadi uang logam emas.
Jika seorang anak dibesarkan dalam lingkungan yang buruk, maka perangainya akan buruk pula. Sebaliknya, jika dibesarkan dalam lingkungan yang baik, maka hasilnya akan menjadi baik. Sebelum Masa Tiba menggambarkan hal tersebut.
Karya lain berjudul Cerita yang Tak Pernah Pudar merupakan karya awal ketika Susilowati menggeluti karakternya. "Sebelumnya saya melukis realisme dengan cat minyak. Figur-figur yang saya tampilkan sebagian besar anak kecil karena saya suka dengan keluguan anak-anak," ujar pelukis 40 tahun itu.
Dalam lukisan tersebut, Susilowati melukis figur anak perempuan sedang memegang bola dunia yang terbalut benang kusut dan usang. Ekspresinya sendu dalam warna hitam putih. Latarnya dipenuhi dengan kesan klasik yang muram lewat teknik lelehan warna. Di sisi kiri dan kanan latar tersebut terdapat bias tokoh wayang.