Pada malam 1 Suro 1594 penanggalan Saka Jawa (SJ), warga Desa Songgokerto, Kecamatan Batu, Kota Baru selalu menggelar njenang Suro. Prof Myrtati D Artaria, Guru Besar Antropologi Unair, sempat berkunjung menyaksikan ritual tersebut.
Saat digelar njenang Suro, warga desa berkumpul di sekitar Candi Supo untuk membuat bubur Suro. Sebuah tradisi membuat jenang atau bubur setiap Suro atau bulan Jawa).
Dalam ritual tahunan itu, semua warga Songgokerto menyempatkan hadir. Mereka berkumpul dan bersilaturahmi serasa Lebaran. Bahkan mereka terlibat langsung dalam kegiatan njenang atau memasak bubur.
Pemerintah desa pun terlibat dalam semua rangkaian acara yang berlangsung empat hari sejak 30 Juli hingga 2 Agustus itu. ”Pak Rama, Lurah Songgokerto, (Asyan Dian Ramadhan, Red) ikut memasak lho. Pun para tetua adat dan juru kunci Candi Supo, Pak Haryoto," terang Prof Myrtati.
Biasanya njenang Suro biasanya dimulai sesudah Maghrib atau sekitar pukul setengah tujuh malam. Mereka mulai dengan menyalakan api dan tungku sampai proses pengadukan. ”Itu berlangsung cukup lama. Tapi di situlah serunya,” ungkapnya.
Mereka duduk bersama untuk menjaga api tungku agar tidak padam. Termasuk mengaduk bubur dalam tiga kuali besar yang disiapkan untuk disantap bersama-sama.
”Karena ini ritus, maka selama proses, warga yang memasaknya tak lupa mengiringinya dengan doa-doa. Itu sebagai permohonan berkah kepada Tuhan,” paparnya.
Bubur Suro matang sekitar pukul 10-11 malam. Saat semakin malam itulah, warga semakin banyak yang datang. ”Keguyuban masyarakat sangat tampak. Mereka melakukan sema itu dengan saweran atau patungan untuk kas desa,” tambahnya.
Bubur Suro memiliki rasa gurih. Makna rasa tersebut menyimbolkan kenyataan hidup yang dijalani manusia. Bahwa dalam kehidupan, manusia pasti merasakan asam-garam. Suka cita seperti rasa manis, kekecewaan seperti rasa pedas yang tipis dalam bubur Suro, dan berbagai hal lain yang dialami.
Bubur berkuah santan tersebut disajikan bersama lauk-pauk tahu, orek tempe atau teri, telur, dan kacang-kacangan. Terdapat tujuh jenis kacang ada dalam bubur Suro. Yakni kacang tanah, kacang hijau, kacang mede, kacang bogor, kacang tholo, kedelai, dan kacang merah.
Selain menikmati bubur Suro, panitia njenang Suro juga menyediakan pala pendem untuk dinikmati bersama.
Angka tujuh melambangkan tujuh hari dalam satu minggu. Serta tujuh dalam bahasa Jawa berarti Pitu. Bermakna sebagai pitulungan atau pertolongan. Dengan harapan apa yang mereka lakukan senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan.
Selain menikmati bubur Suro, panitia njenang Suro juga menyediakan pala pendem. Menyimbolkan tanaman dari tanah, sebagai sumber kehidupan. Manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah.
Pala pendem dapat ditanam di mana saja dan tak membutuhkan tanah yang luas. Bermakna dari penjauhan diri atas segala hal yang bersifat duniawi.
Sedangkan penataan pala pendem yang sejajar bermakna sebagai upaya kesejajaran manusia. Tak ada yang lebih tinggi, atau kesetaraan sosial. ”Itulah beberapa sajian yang ada dalam njenang Suro,” katanya.