Di tengah-tengah ancaman krisis pangan global, Indonesia justru mampu mencapai swasembada beras. Apakah maknanya buat negara kita?
Pengakuan itu telah dinyatakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), baru-baru ini. Organisasi Pangan dan Pertanian di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tersebut, memberikan apresiasi tinggi atas kerja keras rakyat Indonesia.
Berdasarkan ketetapan FAO, suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Sebelumnya, International Rice Research Institute (IRRI) juga memberikan penghargaan serupa. Indonesia dinyatakan mampu mencapai swasembada, karena dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya lebih dari 20 persen.
Sejak 2019, produksi beras nasional konsisten di atas 31,3 juta ton. Jumlah yang ”melimpah” ini, dapat memberikan stok sebanyak 10,2 juta ton pada akhir April 2022. Data tersebut berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS).
Hal ini tentunya menjadi kado terindah HUT ke-77 RI. Pengakuan pencapaian swasembada pangan, sejatinya bukan untuk pertama kalinya bagi Indonesia. Tiga puluh enam tahun lalu, negara kita juga mendapatkan penghargaan yang sama.
Menurut BPS, sebenarnya Indonesia masih mengimpor beras hingga terakhir pada 2021. Namun beras itu bukanlah keperluan konsumsi masyarakat, melainkan untuk kebutuhan industri. Beras impor yang didatangkan dari berbagai negara tersebut, tercatat pada 2018 hingga 2021. Tentu saja data-data tersebut bisa menjadi bahan perdebatan.
Swasembada pangan dalam arti yang lebih luas, menjadi program pembangunan pertanian yang bernilai strategis. Dampak rentetannya meliputi berbagai sendi kehidupan dan politis.
Ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, mutu bahan pangan yang baik, serta nilai gizi yang tinggi, berpengaruh penting pada banyak sektor. Imbasnya bisa memacu sisi perekonomian dan kualitas sumber daya manusia.
Gizi-Diet
PBB memperkirakan, sekitar satu miliar orang di seluruh dunia mengalami kekurangan gizi. Namun di sisi lain, hampir dua miliar penduduk dunia mengalami ”kelebihan gizi”. Indonesia juga mengalami gambaran yang serupa.
Perubahan pola makanan tradisional yang bergeser ke arah pola makan siap saji/western diet, berdampak signifikan terhadap ekspresi berbagai penyakit. Khususnya meningkatnya prevalensi penyakit-penyakit kronis dan terjadinya kematian dini.
Makanan tradisional sehari-hari rakyat Indonesia, pada umumnya mengandung serat tinggi dan bersumber dari tanaman (nabati). Ketersediaan makanan jenis ini, relatif banyak dipengaruhi oleh musim tertentu.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, makanan siap saji saat ini menyumbang 28 persen kalori yang dikonsumsi masyarakat perkotaan. Dari tahun ke tahun menunjukkan grafik peningkatan yang cukup signifikan.
Khususnya masyarakat perkotaan, mulai gemar menyantap menu siap saji yang tinggi karbohidrat, gula, lemak jenuh dan garam/natrium. Latar belakangnya antara lain adalah berbagai kemudahan (praktis, cepat), rasanya yang enak, penyajiannya yang menarik dan faktor gengsi.
Beras termasuk dalam biji-bijian yang telah mengalami proses pengolahan (refined grain). Proses ini dapat menghilangkan kulit dan lembaganya yang banyak mengandung vitamin, mineral dan serat. Oleh karenanya, beras hanya mengandung karbohidrat kompleks dan sedikit natrium, lemak ataupun protein.