CIMAHI, HARIAN DISWAY - Karya lima seniman -Galung Wiratmaja, I Made Duatmika, I Made Romi Sukadana, Made Wiradana, dan Putu Sudiana- yang berpameran dalam Ya’tra Art di Mola Art Gallery Cimahi, punya cirinya masing-masing. Made Wiradana sangat mudah ditengara dari karakter lukisannya yang menghadirkan nuansa purbakala.
Dalam Ya’tra Art, Wiradana seperti bertutur tentang prosesnya dalam berkesenian. Lewat pencarian pengetahuan, kekayaan secara materi maupun spiritual, maupun temuan-temuan yang akhirnya memperkaya khasanah hidup. ”Proses yang harus dijalani oleh tiap manusia itulah sejatnya esensi ya’tra,” katanya tentang judul pameran yang digelar di galeri milik perupa Mola itu.
Dalam bahasa Jawa, makna itu punya kesamaan. Artinya laku atau lelaku. Sebuah perjalanan yang panjang. ”Saya sebagai pelukis pun seperti itu. Harus melalui tahapan-tahapan pedih, sedih, susah. Tapi jika dijalani dengan pasrah dan iklas, serta pantang menyerah, akhirnya saya tahu jalan takdir saya. Ini hasilnya. Saya yang sekarang ini,” ungkap pelukis asal Bali itu.
Made Wiradana bersama empat seniman Bali lainnya yang berpameran Ya’tra Art, dengan founder Mola Art Gallery (MAG) Mola, kurator pameran Anton Susanto dan Direktur MAG Ibnu Farhan. -MAG untuk Harian Disway-
Bila dikisahkan dalam pewayangan, jalan yang dilalui Wiradana itu layaknya kisah Bima ketika mencari Tirta Amerta. Putra kedua Pandu Dewanata itu harus mengalahkan raksasa, ular naga hingga tenggelam terseret arus laut.
Puncaknya, ketabahan dan sifat pantang menyerah itu membawanya pada Dewa Ruci. Dewa yang mampu membuka pengetahuan spiritual Bima sehingga ia menjadi lebih bijak dan kuat.
Sebelum sampai pada karakternya yang sekarang, Wiradana awalnya belajar seni rupa tradisi. Ia membuat wayang bersama ayah saya. Lalu masuk Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Bali pada 1986. Selanjutnya ia kuliah ke ISI Yogyakarta.
Saat itu ayahnya sempat khawatir ketika Wiradana memutuskan pergi ke Yogyakarta. ”Bukan apa-apa, ayah takut kalau lukisan saya berubah. Tak lagi bergaya dekoratif tradisi, tapi ikut arus kontemporer-kontemporeran,” ungkapnya.
Ketakutan itu memang terbukti. Sejak lulus ISI Yogyakarta, karya-karya Wiradana cenderung kontemporer. Meskipun hal itu tak memengaruhi kemampuannya dalam melukis atau membuat wayang. ”Kata ayah lukisan saya jadi jelek. Mana laku. Waktu itu saya melukis dengan gaya impresif-ekspresif,” ujarnya.
Primitive Series, Energi Purba, dan Abstraksi Primitive.
Nyatanya lukisannya laku. Saat Wiradana menyampaikan pada ayahnya, dengan nada bergurau ayahnya meledek. ”Ayah saya bilang yang beli pasti lagi pusing. Makanya lukisan corat-coret dianggap bagus,” paparnya, lalu tertawa.
Apa pun pendapat ayahnya, tapi sebenarnya ia lah yang selalu mendukung apa yang dilakukan Wiradana. Apalagi ketika tahu Wiradana memang sangat serius mendalami seni rupa. Sempat bergabung galeri, Wiradana jadi tahu bahwa hasil penjualan karya lewat galeri kadang sangatlah minim.
”Tak sebanding dengan prosesnya ya. Padahal saat itu saya punya dua balita. Enggak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Makanya saya memutuskan jadi pekerja kantoran saja. Karena hasil dari melukis sangat tidak cukup,” ungkapnya.
Tapi rencana itu justru ditolak keras istrinya. Alasannya, itu akan membuat apa yang dicita-citakan Wiradana sejak lama akan sia-sia. ”Saya memang bercita-cita jadi pelukis besar. Istri saya sangat mendukung. Ia mendorong saya untuk teguh dan konsisten untuk mencapai cita-cita itu,” tambahnya.
Lantas ada ide untuk berpameran tunggal di Yogyakarta. Saat ada keterbatasan dana, ada support luar biasa dari mertuanya yang bersedia menggadaikan BPKB motor. ”Dapat Rp6 juta. Habis dibuat beli kanvas. Tidak bisa beli cat,” ujarnya, lantas tertawa.
Seniman tak hilang akal. Dengan daya kreatifnya, Wiradana memanfaatkan bahan arang dan pewarna dari sirih atau inang. Saat itu ia mencoba lukisan baru bernuansa purbakala.
Objek-objeknya terinspirasi dari kekagumannya terhadap lukisan-lukisan gua dari berbagai daerah di dunia. Termasuk di Indonesia. Seperti dalam gua Leang-Leang di Sulawesi. ”Sederhana. Tapi sejak saat itu saya menemukan gaya atau karakter melukis,” katanya.