Kisah Tim van Wijk hampir mirip dengan kisah sahabatnya: Olvi Jasinta. Mereka sudah berkomunikasi dengan orang tua kandung. Namun, kisah sebenarnya tidak terungkap dalam satu kali pertemuan.
– Merekalah the truth seeker: pencari kebenaran. Fakta akan dikejar bagaimanapun caranya. Mereka siap mendengarkan semua fakta meski akan terdengar menyakitkan. Hidup mereka sudah terlalu pahit. Sudah kepalang tanggung untuk tidak mencari tahu kisah sebenarnya. Karena itulah, Tim terus menggali fakta-fakta di balik adopsinya. Pencarian fakta sempat terkendala pandemi. Seusai pertemuan virtual dengan sang mama: Elya Rosani Tim Hiraeth, pada 12 September 2020, Tim tak kunjung mendapatkan visa ke Indonesia. Tak lama setelah pertemuan itu, sang mama jatuh sakit. Usianyi sudah 72 tahun. Sudah sangat sepuh. Saat tim Mijn Roots datang ke Semarang, Elya sudah memakai alat bantu jalan.Ibu Tim van Wijk: Elya Rosani Tim Hiraeth (tengah) saat ditemui Pendiri Yayasan Mijn Roots Ana Maria (paling kanan) dan Bud Wichers (paling kiri).-Dok Mijn Roots- Tim sempat membiayai pengobatan sang mama. Ia lakukan apa pun agar sang mama kembali sehat. Itulah kesempatan untuk berbakti kepada orang tua kandung. Namun, kondisi sang mama memburuk. Tim ingin sekali segera ke Indonesia. Namun, pandemi membuatnya tak berkutik. Visanya tak kunjung keluar. Situasi di Indonesia sama kacaunya. Apalagi, muncul varian Delta di awal 2021. Kabar buruk itu pun akhirnya datang bak guntur di siang hari. Sang ibunda meninggal dunia. ” My mother died when I got the visa (Ibuku meninggal ketika aku mendapatkan visa, Red),” ungkapnya. Mei 2021 Tim berangkat ke Indonesia. Anda dapat membayangkan bagaimana rasanya impian di depan mata ambyar begitu saja. Ingin sekali rasanya bertemu sang ibu yang melahirkan. Namun, takdir berkata lain. Tim harus menerima kenyataan pahit untuk kali kedua. Melihat jasad sang ibu untuk kali terakhir pun tak bisa. Sumi, kekasih Tim, mengantarnya pulang kampung ke Indonesia untuk kali pertama. Ia tahu bagaimana kesedihan yang dialami Tim. Ia tak bisa tenang. Beban yang ia pikul begitu berat. Begitu sampai di Indonesia, ia langsung menuju makam sang ibunda. Ia menangis sejadi-jadinya. Yang bisa ia pegang hanya nisan sang ibunda. Mawar merah sudah ditebar di atas tempat peristirahatan terakhirnyi.
Tim van Wijk berziarah ke kuburan sang mama Elya Rosani Tim Hiraeth di Salatiga tahun lalu.-Sumi Kasiyo for Harian Disway- Air matanya mengalir deras. Telapak tangannya ditempelkan ke dada. Sesak sekali dadanya. Semua yang hadir di sana juga ikut larut dalam kesedihan. Saat itu Tim akhirnya juga bertemu dengan sanak saudaranya. Ada tante, om, hingga saudara kandungnya. Setidaknya masih ada keluarga sedarah yang ia temui. Dalam kesempatan itu, ia menggali banyak kisah. Namun, ada yang tak beres. Mereka berusaha menutupi kisah adopsi Tim. Ada yang marah jika kisahnya dibongkar. ” There’s a lot of drama (Ada banyak drama, Red),” ujarnya. Namun, belakangan Tim tahu bahwa dirinya diculik. Ada beberapa pihak keluarga yang mengatakan kisahnya secara jujur. Praktik penculikan 1973–1983 lumrah terjadi. Ada banyak jaringan yang terlibat. Mulai rumah sakit, gereja, notaris, hingga panti asuhan.
Peristirahatan terakhir Elya Rosani Tim Hiraeth mendiang ibu Tim van Wijk alias Rudiyanto.-Sumi Kasiyo for Harian Disway- Tim menjadi salah seorang korban penculikan. Jadi, sang ibu sebenarnya tidak merelakan sang buah hati diambil orang lain. Pria kelahiran 1975 itu mendapati fakta bahwa dirinya diculik oleh dokter. Mereka ikut dalam lingkaran setan jaringan adopsi ke Belanda dan Eropa. Ada uang besar yang berputar di dalamnya. Mereka menganggap upaya itu untuk menolong anak-anak Indonesia yang terlahir dari keluarga miskin. Faktanya, niat menolong itu cuma kedok. (Salman Muhiddin) Tim Jadi Jaminan Kakaknya yang Sakit . BACA BESOK!