CIMAHI, HARIAN DISWAY - Dalam ya’tra, Putu Bonuz Sudiana melalui dan memaknai banyak hal. Ketika menerjemahkan emosi dan kegelisahan lewat visual garis dan warna. Pun saat ia berproses menuju abstrak. Puncaknya, kelak, visual abstrak itu tergambar sebagai sesuatu yang tak kasat mata.
Dalam pameran Ya’tra Art di Mola Art Gallery Cimahi yang didirikan Mola, Bonuz membawa seri Sky Rhytm; #1, #2, dan #3. Berbeda dengan kecenderungan empat pelukis lain –Galung Wiratmaja, I Made Duatmika, I Made Romi Sukadana, dan Made Wiradana, Bonuz bergaya abstrak ekspresionisme.
Seperti musik yang mengalun dengan hentakan-hentakan. Tiap warna dan garis adalah penanda irama. Ibarat bangunan rythm dalam struktur komposisi musikal.
Jika instrumen hanya bermain dalam garis lead, musik akan terasa kering. Hampa. ”Lukisan itu punya nada, punya bunyi yang diimajinasikan lewat visual. Nah lukisan adalah sastra yang terwujud lewat visual,” ungkapnya.
Jika diamati, sebagian besar karya Bonuz identik dengan warna-warna gelap. Bahkan hitam. Warna yang banyak dihindari pelukis. Namun dalam karya yang ia pajang di dinding Mola Art Gallery ada lukisan yang memampangkan bidang putih.
Dalam khasanah sastra, bidang putih itu seperti bercerita. Tentang kisah perjalanan terakhir Pandawa. Ketika Yudhistira bersama istri dan keempat adiknya, melakukan pendakian ke Himalaya.
Putih sebagai salju yang mampu membuat sekujur tubuh beku. Sedangkan warna dan garis yang saling berbenturan adalah rintangan demi rintangan yang harus dihadapi.
Bahwa sebelum mencapai puncak Himalaya, bahkan sebelum benar-benar pergi ke Swargaloka, Yudhistira harus mengalami kenyataan-kenyataan pahit. Istri dan keempat adiknya meninggal. ”Itulah ya’tra. Proses panjang harus dilalui sebelum mencapai puncak tertinggi,” ungkapnya.
Seri Sky Rythm dapat pula diinterpretasikan sebagai abstraksi kisah tersebut. Buncahan warna hitam dengan percikan di kanan-kiri dalam bidang putih, Sky Rythm #3 seperti ledakan kecil dalam Salju himalaya.
Direktur Mola Art Gallery Ibnu Farhan, berdiri membelakangi dua karya Putu Bonuz Sudiana –Sky Rhytm #1 dan #2, yang terpajang di dinding Mola Art Gallery.
Perspektif yang dicitrakan chaos, bias samar dengan sayatan-sayatan gelap mengesankan langkah Yudhistira yang semakin lama semakin berat. Warna merah pada bagian atas kanvas seperti gambaran Yama, Dewa Kematian. Bersiap menyambut siapa saja yang datang.
Dalam Sky Rythm #1, Bonuz mengolah bidang putih dengan bagian kiri terpisah. Garis-garis aksen goresan valet membuat efek gerak pada objek tersebut. Sehingga tampak seperti tercerabut akibat sebuah insiden. Layaknya permukaan salju yang patah secara tiba-tiba.
Terkait kisah perjalanan akhir Pandawa, kejadian itulah yang mengakibatkan Drupadi serta keempat suaminya meninggal. ”Kita tentu bertanya mengapa hanya Yudhistira yang hidup? Karena beliau adalah simbol kebijaksanaan,” ungkapnya.
Pandawa berarti personifikasi sifat atau kemampuan manusia. Sadewa melambangkan kecerdasan, Nakula melambangkan kemampuan pengobatan, Arjuna melambangkan fokus atau konsentrasi, Bima sebagai lambang kekuatan dan Drupadi, sebagai istri kelimanya, lambang penopang kelima unsur tersebut.
Apabila semua telah hilang atau dibungkam, maka yang tinggal dalam diri manusia adalah kebijaksanaan. Hanya dengan kebijaksanaan manusia dapat selamat.
Putu Bonuz Sudiana (dua dari kanan) bersama empat pelukis Bali -Galung Wiratmaja, I Made Duatmika, I Made Romi Sukadana, dan Made Wiradana- yang berpameran di Mola Art Gallery bersama Anton Susanto, kurator (kiri).--
”Perjalanan ya’tra menuntun Yudhistira untuk senantiasa tegar. Menjawab pertanyaan Dewa Yama dengan lugas, serta hanya bersedia pergi ke surga jika anjing yang menyertainya selama perjalanan ikut dibawa,” terangnya. ”Kepedulian terhadap mahluk lain pun merupakan bentuk kebijaksanaan, dan itulah yang membawanya ke surge,” lanjutnya.