SURABAYA, HARIAN DISWAY - Zero dipersembahkan Teater Kaki Langit. Diadaptasi dari naskah drama karya Putu Wijaya. Melibatkan aktor dari berbagai sekolah, pementasan itu membawa pesan tentang kelestarian lingkungan hidup.
Di tengah panggung Gedung Sawunggaling, Universitas Negeri Surabaya (UNESA), seorang dalang bercerita pada pengunjung. Ia prihatin terhadap rusaknya lingkungan hidup. Habitat burung-burung dan berbagai binatang lain rusak. ”Kami bingung harus kemana. Begitu kata hati mereka,” ujarnya.
Sementara generasi mudanya tak peduli. Kebanyakan orang hidup demi kesenangan atau kepentingannya sendiri. Tak mau tahu bahwa kerusakan alam yang terjadi, di kemudian hari terancamlah jiwa mereka.
Bahkan berdampak pada kelangsungan hidup generasi selanjutnya. ”Di mana anak-anak yang dulu? Anak-anak yang bermain bersama kawan-kawannya. Bukan anak masa kini yang sibuk main gadget,” keluh dalang tersebut.
Gawai memang membuat anak lupa cara bersosialisasi. Mereka hidup dan berinteraksi dalam dunia seukuran telapak tangan. Jika itu terus dilakukan dan dibiarkan, maka jiwa sosial atau kepedulian mereka kian lama kian terkikis. Demikian pesan pentas itu.
Adegan yang menggambarkan ratapan manusia atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh orang-orang serakah.
Dalam adegan selanjutnya, beberapa aktor remaja yang berperan sebagai anak-anak masuk ke panggung. Aktor-aktor itu tampak menghibur dalang. Menggelayut di pundak dan pahanya. Lalu mengajak untuk bermain.
Si dalang senang. ”Nah anak-anak seperti inilah yang saya inginkan. Anak-anak dengan jiwa yang murni, jiwa yang belum tersentuh gadget,” ujar aktor yang diperankan oleh Randall Achmadean.
Berikutnya dalang mengajak mereka bermain permainan tradisional. Seperti gobak sodor dan sembunyi-sembunyian. Ada tawa riang aktor anak-anak mengesankan kehidupan anak-anak masa lalu yang kini sangat jarang ditemui. Momen kebersamaan yang menguatkan keakraban di antara mereka.
Pada adegan awal, latar panggung pementasan memampangkan visual pepohonan rindang. Ada pemandangan alam yang hijau dan asri. Namun tiba-tiba kesenangan mereka dirusak oleh aktor-aktor yang berperan sebagai tokoh antagonis.
Mereka mengacaukan suasana. Membentak aktor anak-anak hingga mengusir mereka. Alasannya mereka ingin memanfaatkan lahan itu untuk pembangunan. ”Kami mau membuat mall, gedung-gedung tinggi dan pabrik di sini!,” kata seorang aktor.
Tergambarlah adegan perusakan alam. Dalang dan anak-anak menepi di sisi panggung sembari menunjukkan ekspresi takut dan sedih. Seakan tak berdaya melihat kepongahan orang-orang serakah itu.
Lalu tiba-tiba muncul aktor-aktor berpakaian binatang. Seperti kucing, ayam, monyet, kelinci, dan harimau. Kini, para perusak alam itu yang ketakutan. Dilawan oleh binatang-binatang yang berontak karena habitatnya dirusak.
Terjadilah interaksi di antara mereka. Para aktor binatang berusaha menyadarkan para perusak. ”Bagaimana jika kamu jadi saya? Rumahmu dirusak, lalu kamu terusir, tak tahu mau tinggal di mana,” bentak aktor yang mengenakan pakaian harimau.
Dalang dan anak-anak berada di belakang mereka. Mendukung para binatang tersebut.
Pada adegan pamungkas, para antagonis sadar bahwa apa yang mereka lakukan salah. Mereka kini membelot. Tak lagi menjadi suruhan para pemangku kepentingan. Mereka bertobat. Tak lagi mau melanjutkan pengrusakan itu.