Liga Itu Bukan Palagan (1); Jangan Jadi Panggung Pembantaian

Selasa 04-10-2022,17:41 WIB
Oleh: Suparto Wijoyo

Selama ini kita ketahui bahwa kemenangan sepak bola selalu diukirkan dari bola yang masuk ke gawang dengan selisik yang menunjukkan keakuan dalam menguasai si bundar. 

Lapangan seolah panggung kedigdayaan para pemain dengan membuncahkan ”emosi jiwaku” sambil melambaikan ”lantun persatuan.” 

Begitu kalau bersinggungan dengan penonton. Sebuah jargon yang meruhanikan peneriaknya selaksa pahlawan dengan segala atribut yang sangat menyita energi. 

Lagak dan gayanya ”memukau” dalam memenuhi jalanan dan setiap orang dibuat ”tiarap” untuk mempersilakan ”pemilik bola” ini memestakan agendanya.

Mengikuti gerakan pecinta bola sungguh saya sangat terpukau atas tabiatnya yang penuh loyalitas, solid, kukuh, dan berani.

Tragedi Karbala

Tapi kematian karena pertandingan bola tetaplah ironi. Ironi yang perih dan menusuk sanubari. Hal ini menjadikan terawangan ”unik” saya adalah seingatan cerita kepahlawanan masa silam. 

Kisah peristiwa bulan Suro yang menghelat Tragedi Karbala atas Sayyidina Husain bin Ali pada 10 Muharram 61 H yang melintas di jejak tanggal 9-10 Oktober 680 M.

Tumpahnya darah sesama Muslim di Karbala membawa akibat yang terus dibisikkan. Di Karbala jiwa raga Sayyidina Husain dihempaskan, jiwa raga  orang yang lahir dari rahim suci Bunda Sayyidah Fatimah Az-Zahra.

Dia pemandu wanita mulia di surga, anak kinasih Kanjeng Nabi Muhammad SAW, istri Imam Ali, karamallhuwajha.

Jiwa raga Sayyidina Husain ”dipangkas” oleh Muslim yang bernama Yazid, anak Muawiyah, turun Abu Sufyan dan Hindun. Ya Hindun tercatat laksana ”Sumanto” pada tahun 3 H. Memakan jantung Hamzah bin Abdul-Muththalib yang berjuluk Singa Allah, Pemimpin Para Syuhada, yang terkena tombak Wahsy, suruhan Hindun dalam Perang Uhud.

Sampai dan sesudah tahun 680 M itu, peristiwa Karbala mengguncangkan jiwa setiap anak manusia untuk tertunduk  tak mampu beranjak hingga hidupnya terhimpit tanpa jarak dengan setiap butiran debu Karbala (Kerbela/Karbela). 

Sayyidina Husain memang tidak berkehendak  berbaiat melegitimasi kekuasaan Yazid bin Muawiyah menjadi Khalifah (679-683) hingga Yazid amatlah murka tanpa kendali iman, meski rotasi di luar urusan Khalifah juga menyentuh titik-titik eksotisme wanita jelita yang memukau Putra Muawiyah ini, yaitu Urainab binti Ishaq. Ini kisah lain yang amat indah untuk dibaca. 

Sayyidina Husain menempuh jalan berkhidmat dengan pergi ke Kufa beserta keluarga dan 71 orang ”peserta muhibbah”. Perjalanan dari Madinah menuju Kufa melintasi gurun Arab yang terik menyengat ditemani Abbas. 

Ketika mendekati Irak, suasana alamnya membersitkan kenyunyian yang menyayat dengan firasat adanya ”operasi senyap” pengkhianatan Umayyah. Al-Husain bin Ali lantas menghentikan langkah dan memasang tenda tanda istirah sedang dipersiapkan tepat di wilayah Karbala, dekat tepi Barat Sungai Furat.

Firasat dan dugaan atas sergapan itu semakin menggetar memberi sinyal pada Sayyidina Husain dengan datangnya beribu-ribu pasukan Yazid yang mengepung dalam komando Ubaidillah ibn-Ziyad yang berperangai bengis.

Tags :
Kategori :

Terkait