MALANG, HARIAN DISWAY - Kematian karena pertandingan bola adalah ironi. Ironi yang perih dan menusuk sanubari. Kematian para suporter itu, sungguh suatu keperihan sempurna yang selama ini telah banyak merenggut pecinta bola.
Pertandingan itu usai. Semula berlangsung nyaman dan sorak-sorai mewarnai. Sekilatan peluit panjang ditiup, sontak ada lakon baru yang tidak terduga.
Penonton membanjiri lapangan dan semburat suporter tidak terbendung. Lantas gas air mata dihujankan, meski didahului tendangan aparatur kepada sosok yang tampak terhuyung.
Pedih, perih dan tangisan panjang dalam erangan jiwa yang melayang. Ratusan korban bergelimpangan dan selanjutnya mendukung kelam kisah yang amat tragis terhelat.
Regangnya nyawa seseorang, apalagi banyak orang, amatlah penting mendapatkan perhatian. Memang kematian itu jalan takdir yang paling Illahiyah, termasuk di laga liga.
Meski terhadap takdir itu ada yang berselancar amat kontemplatif dalam memanennya. Bacalah novel yang menurut The Washington Post amat ”dahsyat dengan plot yang tak terduga dan akhir yang mengejutkan”.
Itulah novel A Prisoner of Birth karya Jeffrey Archer yang mewarnai pustaka saya sejak 2008.
Tetapi kalau sepak bola sampai menghadirkan kematian yang berjubah ”loyalitas pendukung” dengan menyorongkan ”konspirasi takdir” sepola novel ini, tentu naif adanya.
Kematian para suporter itu sungguh suatu keperihan sempurna yang selama ini telah banyak merenggut pecinta bola.
Pertandingan bola dalam sejarahnya bukan hanya menewaskan pemain tetapi kerap membunuh suporter. Ingat tahun 2018. Selama Januari-September 2018 ini saja, 6 bonek Persebaya Surabaya tewas, 2 Aremania (Arema FC), 1 pendukung PSIM Yogyakarta, 2 PSIS Semarang, 2 lagi dari PSMS Medan, 1 penggila bola Persitara Jakarta Utara, dan 3 dari pembela bola Persija Jakarta, termasuk Haringga Sirila.
Kenyataannya hal itu semakin dipupuk hingga terus menjadi ajang ”pembunuhan berkelanjutan” atas pecinta bola yang loyal, heroik, nan patriotik?
Kematian yang malang dari pertandingan itu bukan sebuah alasan agar sebuah olah raga dihentikan untuk dipertandingkan? Masalahnya pasti tidak berlokasi dalam pertandingan yang dilagakan sebagai liga yang menyedot penonton, melainkan ”manajemen perpenontonan” untuk menumbuhkan kaidah: sesama suporter bola adalah saudara.
Pertandingan sepak bola sebagaimana layaknya sebuah permainan, bahkan soal pilpres saja secara ”geneologis bangsa” mestinya sekadar ”pertandingan adu kreativitas untuk kemenangan saudara sendiri.” Bukan ”adu kekuatan untuk membunuhnya.”
Sepak bola adalah ajang kegembiraan untuk bertemunya sesama pecinta bola meski berbeda klubnya. Toh mereka semua adalah ”elemen bangsa” dan perindu yang lahir dari rahim sepak bola. Sepak bola jangan dijadikan sebagai panggung pembantaian yang menunjukkan keperkasaan.
Harus ada narasi korektif yang dibangun sebagai konstruksi imaji tentang bola yang dipertandingkan dengan tarikan napas selaku permainan.