Media massa harus memosisikan diri memberi ruang pemberitaan tentang pertandingan bola dan pemainnya adalah ”idola” tersendiri yang secara spesifik memantik para pengagumnya untuk memberikan raungan.
Nama-namanya dihafal dan kostum yang dipakai direplikasi untuk dikenakan kepada anggota keluarga dengan anggitan bahwa setiap penyebutan nama, bahkan nomornya akan mendapatkan ”berkah”.
Pemakai kaus kesebelasan kesayangan dan pemain yang diagung-agungkan selaksa menjadi ”luapan nikmat” yang perlu diperagakan dengan sangat heroik. Nama kesebelasan dan nama pemain bola pun kian mewarnai pemberian nama anak keturunan.
Tentu fenomena ini unik sekaligus menunjukkan batas mimpi yang dilamunkan oleh penyematnya.
Kalaulah demikian, betapa berartinya sepak bola untuk membangun gelora jiwa dan raga yang memperlihatkan kerumunan penyatuan diri sumber daya peradaban.
Bangsa ini memiliki keunggulan potensial yang sangat realistis dalam lingkar suporter bola. Mereka semua adalah pecinta bola yang cintanya melebihi cinta siapa pun.
Larangan orang tua untuk tidak ikut arak-arakan di jalan dalam menikmati pertandingan bola acap kali diabaikan. Karena orang tua mungkin dianggap kurang mengerti tentang hadirnya persekutuan cinta dalam gelombang massa yang menggetarkan.
Cobalah Anda masuk ke dalam ruang kerumun suporter bola yang sedang membentuk formasi kekuatan massa, maka jiwa Anda akan terasuk menjadi bongkahan persaudaraan maksimal.
Anehnya, ada pecinta bola, yang kemudian, bola itu ada dalam kolong persatuan yang menjelma dalam klub-klub bola, eh ternyata melahirkan kebencian yang mendalam antarsuporter tertentu.
Inilah yang terpotret dari liga bola. Ini adalah kenyataan yang dalam lingkup falsafah negara adalah bertentangan dengan Pancasila.
Ternyata bola tidak mampu membangun persekutuan yang menyatukan Indonesia. Tetapi membersit cinta buta yang mengabaikan ”perasaan sesama manusia”.
Tanyalah kepada mereka: di mana tempat kemanusiaan yang adil dan beradab dalam tampilan sosok gagah sepak bola yang abai dengan manusia lainnya? Kebencian antarsuporter bola di negeri ini harus dipungkasi. Kesediaan jiwa menerima kekalahan dan kemenangan meski dipersandingkan, bukan diaduk menjadi kebencian.
Kepada para korban kita munajat membisikkan doa-doa pengampunan sambil bacalah Alfatihah. (Oleh Suparto Wijoyo: Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga)