Kini empat orang berdiri di dekat tangga. Sambo berhadapan dengan Yosua. Sedangkan Eliezer, Kuat, dan Ricky di arah jam sepuluh dan sebelas dari Yosua. Jarak antara Yosua dan mereka sekitar satu setengah meter.
Titik mereka itu sekitar 3 meter dari kamar Putri Candrawathi, yang pintunya tertutup.
Sambo marah ke Yosua: ”Kamu tega sama saya, ya... Kamu kurang ajar sama saya, ya...”
Sambo ke Eliezer: ”Chard... Tembak...”
Eliezer sudah pegang pistol, tapi belum juga menembak. Mungkin grogi.
Sambo: ”Woooi... Cepat tembak...”
Dor... dor... dor...
Tembakan pertama kena dada kanan atas. Menembus tulang belikat. Tembakan kedua menyerempet pundak kanan. Refleks, tangan kiri Yosua melindungi wajah.
Tembakan ketiga menyerempet lengan kiri, kena dagu. Yosua tumbang.
Dalam kondisi Yosua masih bergerak hendak bangkit, Sambo menembak belakang kepala, tembus hidung. Di situ tulang tengkorak Yosua pecah. Tewas.
Lantas, Sambo membuat rekayasa. Menembak-nembak dinding beberapa kali. Lalu, menempelkan pistol ke tangan Yosua. Mungkin, dengan maksud agar di gagang pistol ada sidik jari Yosua.
Tapi, soal doa Eliezer itu dipertanyakan jaksa di sidang. Tepatnya, jaksa membaca surat dakwaan.
Jaksa: ”Saksi Richard Eliezer Pudihang Lumiu naik ke lantai 2, masuk ke kamar ajudan. Namun, bukannya berpikir untuk mengurungkan dan menghindarkan diri dari rencana jahat tersebut, saksi Richard Eliezer justru melakukan ritual berdoa berdasarkan keyakinannya, meneguhkan kehendaknya sebelum melakukan perbuatan merampas nyawa Korban Nofriansyah Yosua Hutabarat.”
Maksud jaksa, Eliezer malah meneguhkan niat membunuh dengan cara berdoa. Tafsir jaksa itu unik juga.
Setelah sidang, Ronny Talapessy, pengacara Eliezer, ditanya wartawan, benarkah Eliezer berdoa untuk meneguhkan niatnya membunuh?
Ronny: ”O, tidak begitu. Posisi klien kami ketakutan, karena tidak berani menolak perintah komandan. Ia berdoa agar penembakan tidak terjadi.”