SURABAYA, HARIAN DISWAY - Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) VII Jatim pun berbenah. Di cakupan wilayahnya, sejumlah perguruan tinggi swasta (PTS) bermasalah. Terdapat PTS yang ditutup karena menjalankan praktik kuliah jalur patas. Yaitu, Universitas Kartini Surabaya dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Panglima Sudirman (Stiapas) Surabaya. Satu lagi, Sekolah Tinggi Ilmu Kewirausahaan Selamat Pagi Indonesia, Batu, juga dicabut izinnya.
Selain itu, ada tujuh PTS yang sedang dalam pembinaan. Empat di antaranya berada di beberapa wilayah. Yakni Akademi Manajemen Perpajakan Indonesia Blitar, Sekolah Tinggi Teknik Raden Wijaya Mojokerto, STIKES Insan Se Agung Bangkalan, dan Universitas Doktor Nugroho Magetan.
BACA JUGA:Unmer Surabaya Setelah Kena Sanksi Dikti, Ijazah 159 Mahasiswa Dibatalkan, Siap Ganti Rugi
Tiga lainnya di Kota Surabaya: Universitas WR Supratman (Unipra), Universitas 45 Surabaya, dan Universitas Merdeka (Unmer) Surabaya. Mereka mendapat sanksi administrasi berat dari Dikti. Tingkat kesalahannya pun lumayan berat.
Beberapa program studi (prodi) di tiga kampus itu pun ditutup. Sebab, terbukti melanggar aturan Permendikbud 3 tahun 2020 tentang Standar Nasional (SN) Dikti. “Mereka ilegal, tidak ada kegiatan akademik,” ujar Kepala LLDIKTI VII Jatim Dyah Sawitri kepada Harian Disway.
Kasus Universitas Kartini dan Stiapas menambah daftar kampus swasta yang tidak kredibel di Jatim. Kini, total terdapat 25 PTS yang sudah ditutup. Apabila tujuh PTS yang berstatus pembinaan tak sanggup memenuhi poin evaluasi, tentu bakal memperpanjang daftar lagi.
“Sebetulnya, dua-tiga tahun belakangan nggak ada kasus seperti ini. Cuma tahun ini aja tiba-tiba muncul. Kami juga kaget,” kata Koordinator Pokja Kelembagaan dan Sistem Informasi Perguruan Tinggi Akademik LLDIKTI VII Jatim Thohari.
Ia mengatakan, pelanggaran di sejumlah prodi pada tiga kampus tersebut berbeda satu sama lain. Yang cukup fatal ditengarai adanya praktik kuliah jalur patas. Terutama bagi mahasiswa berstatus transfer/pindahan.
Seperti yang terjadi di Unipra. Dikti menemukan perbedaan jumlah mahasiswa aktif. Yang tercatat di PDDikti lebih banyak ketimbang di sistem informasi akademik (siakad) kampus. Bahkan selisihnya sekitar 2.000 mahasiswa.
Itu mengindikasikan adanya oknum yang bermain. Oknum itu mendaftarkan nama ’’pelanggannya’’ langsung ke pusat tanpa melalui administrasi kampus. Artinya, mahasiswa yang jadi pelanggan si oknum itu tak perlu susah-susah kuliah untuk mendapat ijazah.
Kasus tersebut memberi pukulan telak bagi LLDIKTI VII Jatim sebagai institusi pengawas PTS. Padahal, kata Thohari, sudah ada program pembinaan rutin setiap tahun. Misalnya, sosialisasi kewajiban melapor data mahasiswa ke pusat. Data itu meliputi kartu rencana studi (KRS) dan kartu hasil studi (KHS).
Termasuk juga sosialisasi penyelenggaraan PTS yang taat asas. Namun, kenapa tetap bisa terjadi praktik penyelundupan mahasiswa gelap tersebut? “Kami memercayai datanya riil karena kami juga nggak terima laporan fisik. Jadi memang langsung ke pusat,” kata Thohari.
Kini, LLDIKTI VII tak mau kecolongan lagi. Praktik kuliah patas melalui penyelundupan data mahasiswa itu tak boleh terulang. Untuk itu, LLDIKTI VII pun sudah berkirim surat edaran (SE) ke seluruh PTS di Jatim.
SE itu mewajibkan seluruh PTS untuk melaporkan surat keterangan (SK) penetapan mahasiswa baru (maba) setiap awal semester. SK itu harus dilampiri data lengkap maba. “Selama ini kan enggak. Karena kami percaya saja. Nah, mulai sekarang harus ada pelaporan itu ke kami dan ke pusat,” ungkapnya.
Data yang masuk itu pun bakal di-crosscheck tiap tengah semester. Jika ditemukan data yang tidak sesuai dengan yang dilaporkan ke pusat, maka langsung ketahuan. Sehingga bisa langsung ditindak saat itu juga.