THEN the storm broke, and the dragons danced.
Lalu badai mengamuk, dan para naga mulai menari.
Caption itu menyertai unggahan wajah Rhaenyra Targaryen (Emma D’Arcy) di Instagram resmi House of the Dragon. Wajah yang dia perlihatkan pada scene terakhir episode 10 House of the Dragon yang tayang Senin pagi WIB, 24 Oktober 2022. Wajah yang tampak tenang. Namun sorot matanya dipenuhi kesakitan, amarah, serta dendam.
Bibit tarian para naga sudah dimulai sejak episode kesembilan pekan lalu. Setelah Raja Viserys Targaryen (Paddy Considine) meninggal. Dan kubu Hijau, yang dipimpin Otto Hightower (Rhys Ifans), memaksakan Aegon Targaryen (Tom Glynn-Carney), menjadi raja. Cucunya itu dimahkotai di depan ribuan penduduk King’s Landing.
Sementara Rhaenyra, yang merupakan pewaris takhta, masih berada di pulau Dragonstone. Ketika dia mendengar bahwa ayahnya meninggal, dan adik tirinya mencuri takhta, dia tidak langsung menyatakan perang. Berbeda dengan sang suami, Daemon Targaryen (Matt Smith) yang langsung bernafsu menyerbu King’s Landing.
CINTA IBU yang ditunjukkan Rhaenyra (kanan, Emma D’Arcy) kepada anak keduanya, Lucerys (Elliot Grihault) pada awal episode membuat kejadian di akhir makin menyakitkan. -Ollie Upton-HBO-
Sebaliknya, Rhaenyra berupaya sekuat tenaga agar perang tidak pecah begitu saja. ’’Aku tidak mau menjadi Ratu atas puing-puing dan reruntuhan,’’ kata Rhaenyra. Kalimat itu sedikit banyak mengingatkan kita pada ucapan Daenerys Targaryen (Emilia Clarke) di Game of Thrones. Ketika dia ragu menaklukkan King’s Landing dengan naga.
Well, pendirian Rhaenyra seketika runtuh. Bukan gara-gara cengkeraman Daemon di leher dia. Juga bukan karena dia merasa kurang dukungan. Namun karena kejadian yang menewaskan putra keduanya, Lucerys Velaryon (Elliot Grihault). Ia dihabisi Aemond Targaryen (Ewan Mitchell), ketika keduanya ’’bertempur’’ di atas naga.
Akhir Menyakitkan
Ending musim pertama House of the Dragon sangat menyakitkan bagi pendukung kubu Hitam—Rhaenyra dan Daemon, didukung klan Velaryon. Luke—sapaan Lucerys—adalah anak 14 tahun yang manis. Ia penuh kasih sayang. Ia bukan pemuda pemberani seperti sang kakak, Jacaerys, yang sejak awal diplot sebagai penerus takhta.
Ia pergi menyampaikan surat ke Borros Baratheon di Storm’s End atas ajakan kakaknya. Dan ketika sang bunda meminta mereka bersumpah untuk tidak terlibat dalam pertarungan apa pun, ia yang pertama menurut. Luke adalah remaja yang sebisa mungkin menghindari kontroversi.
Sayang, di masa kanak-kanaknya, ia sudah berkontroversi dengan orang paling berbahaya di kubu Hijau: Aemond Targaryen. Gara-gara Luke, Aemond kehilangan satu matanya.
MISI Lucerys ke Storm’s End bersama naganya, Arrax, berakhir tragis. -HBO-
Menurut showrunner Ryan Condal, pihaknya sudah lama merancang agar kematian Luke menjadi penutup musim pertama. Ia dan para penulis bahkan tidak mencoba mengeksplorasi kemungkinan lain. Condal beranggapan, peristiwa itu menjadi fondasi yang bagus untuk mengawali musim kedua. Yang bakal tayang pada musim panas 2024.
’’Sama sekali tidak. Aku melihat lagi buku kitab asli yang kutulis untuk serial ini pada Mei 2019. Memang kejadian itu (kematian Luke, Red) dimaksudkan sebagai titik akhir,’’ jelas Condal, dalam wawancara dengan Variety. ’’Aku merasa bahwa satu dua pukulan tidak cukup untuk mengobarkan perang. Mulai dari kematian Viserys, sampai ketika pihak Hijau mengklaim takhta,’’ lanjutnya.
’’Mungkin dari situ kubu Rhaenyra sudah memanasi mesin perang. Dia mulai melepaskan naga-naga ke angkasa. Dan saat itulah, peristiwa mengerikan di Storm’s End terjadi. Itulah Dance of the Dragons—Tarian Para Naga,’’ ulas Condal. ’’Untuk memulai perang, sekaligus mengakhiri babak pertama dengan tarian dua naga, terasa tepat dan dramatis,’’ paparnya.
Condal mengakui, ada banyak perbedaan dalam naskahnya dengan buku Fire and Blood, yang menjadi sumber kisah House of the Dragon. Misalnya, di buku, Rhaenyra enggan anak-anak dia mendatangi para sekutu. Dia harus dibujuk begitu lama, hingga akhirnya merelakan Jacaerys dan Luke pergi.
Namun, kata Condal, buku Fire and Blood bukan seperti seri Game of Thrones. Ia bukan novel. Melainkan lebih seperti buku sejarah Westeros. Oleh penulisnya, George R.R. Martin, buku itu dibuat seolah-olah disusun oleh para maester—cendekiawan—yang masing-masing punya kepentingan.
Hal itu memungkinkan Condal untuk lebih bebas mengintepretasikan isi buku Fire and Blood. ’’Ada bias-bias tertentu yang berpihak kepada pemenang perang. Karena buku sejarah ditulis oleh mereka,’’ kata Condal. ’’Pembaca buku mungkin akan mengira bahwa Fire and Blood menjadi satu-satunya sumber cerita. Padahal tidak begitu,’’ jelasnya.
Terkait kematian Luke, ada perbedaan mencolok antara buku dengan serial. Dalam Fire and Blood, jelas ditulis bahwa Aemond sengaja membunuh Luke. Namun, di serial, peristiwa itu terlihat seperti main-main yang kelewatan. Aemond tak bisa mengendalikan naganya sendiri. Yang umur dan ukurannya 50 kali naga belia Luke.
KEBIMBANGAN Aemond Targaryen (Ewan Mitchell) setelah mengalahkan Lucerys menambah layer pada karakternya. -HBO-
’’Para sejarawan menulis bahwa Aemond berniat membunuh Luke. Tapi kurasa tak seorang pun tahu apa yang ada di kepala Aemond saat itu,’’ kata Condal. ’’Ia mengejar, mengancam, dan meneror sepupunya yang naganya jauh lebih kecil. Tapi ia tidak tahu bagaimana Luke maupun Arrax (naga Luke, Red) akan merespons. Ia tidak sadar tendangan kakinya ke Vhagar menghasilkan serangan mematikan buat Luke,’’ paparnya.
Intinya, kata Condal, justru di situ. ’’Perang ini adalah efek dari riak-riak kecil yang berujung pada luka yang sangat sangat berdarah. Ia menambahkan kompleksitas dan nuansa yang membuat setiap karakter jadi makin menarik,’’ paparnya. ’’Aku bisa mengembangkan karakter Aemond menjadi lebih kompleks saat Tarian dimulai,’’ imbuh sineas 43 tahun tersebut.
Tarian para Naga telah memakan dua korban dari pihak Hitam. Setelah titik ini, apa pun yang dilakukan Rhaenyra menjadi masuk akal. (bersambung)