PTPN X yang selama ini menjadi andalan industri gula bisa menjadi salah satu contohnya. Kinerja perusahaan 2022 mencatatkan torehan yang melegakan. Hampir semua indikator kinerja telah melampaui RKAP (rencana kerja dan anggaran perusahaan) sebelum musim giling berakhir. Meski rendemen tebu belum memuaskan karena musim hujan yang berkepanjangan, perusahaan telah mencatatkan laba menggembirakan.
Transformasi di bidang operasional di lingkungan PTPN group tersebut juga diikuti dengan restrukturisasi kelembagaan. Jika dulu dilakukan dengan holding-isasi PTPN, kini dilanjutkan dengan clustering bisnis melalui penyatuan bisnis utamanya. Untuk meningkatkan produktivitas industri gula, disatukanlah seluruh pabrik gula ke dalam PT Sinergi Gula Nusantara (SGN).
Langkah restrukturisasi lanjutan sejak tahun ini akan diteruskan di bisnis sawit dengan membentuk palm company. Sementera itu, yang tersisa akan disatukan menjadi satu perusahaan subholding agar lebih fokus lagi. Dengan demikian, ke depan PTPN yang tadinya berjumlah 14 menjadi 1 perusahaan holding dan 3 perusahaan subholding.
Berbagai aksi korporasi tersebut memberikan harapan besar berhasil karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah. ”Saat inilah kita betul-betul mendapatkan momentum untuk mengembalikan kejayaan PTPN. Ekosistem sedang mendukung untuk berbagai aksi korporasi kita. Pemerintah melalui Bapak Presiden maupun Menteri BUMN mendukung segala langkah aksi korporasi kita,” tutur Ghani.
Tentu, berbagai aksi korporasi tersebut bukan hanya dalam rangka menyehatkan perusahaan milik negara itu. Tapi, juga untuk mengokohkan kehadiran negara dalam ketahanan pangan. Mulai penyediaan gula, meningkatkan nilai ekonomi petani, hingga menjaga stabilitas harga gula konsumsi di masyarakat.
Jika semua itu bisa dilalui dengan lancar, bukan mustahil, PTPN bisa menjadi institusi bisnis yang mampu menjalankan peran ”gerak ganda” alias double movement seperti yang digambarkan Karl Polanyi dalam bukunya, The Great Transformation. Menjadikan aktivitas ekonomi-bisnis tak tercerabut dari kondisi sosial masyarakatnya.
Di satu sisi, PTPN mampu menjadi instrumen untuk meningkatkan pendapatan negara melalui bisnis. Di sisi lain, bisa menjalankan fungsi sosial dan layanan publik, khususnya dalam meningkatkan nilai ekonomi petani sekaligus menjaga stabilisasi harga gula dan minyak goreng yang menjadi bagian dari kebutuhan pokok masyarakat.
Sayangnya, berbagai langkah korporasi dan dukungan penuh pemerintah itu masih saja menimbulkan prasangka bisnis. Misalnya, masih muncul prasangka tentang dugaan peluang munculnya monopoli yang ditudingkan kepada BUMN perkebunan itu. Padahal, rente impor gula selama ini tak pernah ikut dinikmati PTPN yang telah puluhan tahun membina petani.
Sekadar diketahui, kuota impor gula selama ini justru lebih banyak dinikmati industri gula swasta. Kalaupun BUMN gula mendapatkannya, itu hanya dalam jumlah yang sangat kecil dan tidak proporsional jika dibandingkan dengan kontribusinya dalam produktivitas gula nasional. ”Ya, PTPN selama ini yang merawat petani, tapi yang mendapatkan hadiahnya pihak lain,” ujar seorang mantan menteri BUMN yang tidak perlu saya sebut namanya.
Saatnya, semua sumber daya diarahkan menuju swasembada gula Nusantara. Memperkokoh pilar ketahanan pangan sambil meningkatkan nilai ekonomi petani kita. Aatau dalam bahasa yang lebih melankolis, mengembalikan kejayaan Nusantara sebagai produsen gula dunia. Rasanya, sekaranglah momentumnya! (*)
*) Penulis juga komisaris independen PTPN X.