"Dia tidak bisa bahasa Mandarin!" sahut saya, yang antre di line warna kuning sejarak satu meter di belakangnya, setengah berteriak.
Lantaran pernah cukup lama tinggal di Tiongkok, saya ketularan kebiasaan bicara dengan volume stereo seperti kebanyakan orang Tiongkok yang saya temui. Maka, sekali masuk ke negara ini, kebiasaan yang sudah lama mati suri sepulang ke Indonesia ini, hidup kembali.
Saya perhatikan, petugasnya kelihatan bingung. Ia agaknya tidak begitu bisa bahasa Inggris. Saya akhirnya dipanggil ke depan untuk mendampingi.
"Kami mau ke Taizhou, Zhejiang. Untuk urusan bisnis. Total empat orang. Yang dua di desk sana," kata saya, sambil menunjuk ke desk Pak Amal dan Pak Rois dilayani.
Ia membolak-balik paspor Pak Yusuf. Dilihat visanya. Dilihat juga halaman identitasnya. Berulang-ulang.
"Mana surat undangan dari Taizhou?"
Kami dibikin kerepotan oleh permintaannya. Sebelum berangkat ke Tiongkok, Pak Yusuf sudah minta stafnya untuk print semua berkas. Termasuk surat undangan itu. Tapi, berkasnya ada di satu map dan mapnya sedang dipegang Pak Amal. Mau ke Pak Amal, berarti mesti menembus antrean.
Ya sudah. Saya sodorkan file itinerary yang diberi kop surat dan distempel perusahaan di Taizhou yang ada di HP saya. Seraya menjelaskan surat undangan cetaknya ada di teman yang di desk sana dan surat undangan digitalnya ada di rekan kerja yang di Indonesia. Saya tidak bisa menghubungi karena HP belum tersambung internet.
Puji Tuhan, petugas imigrasi itu memahami.
"Di Taizhou ini perusahaan apa?"
"Pembuatan kapal."
"Ke sana untuk apa?"
"Beli kapal ikan."
Mendengar kami ke sini untuk beli-beli, petugas itu tidak banyak tanya lagi. Kembali fokus ke paspor.
Saya pikir akan langsung ditok. Ternyata ia masih memanggil satu temannya. Untuk dilakukan double check, sebelum kemudian menstempel paspor kami.
Lalu, langsung ambil bagasi?