Karapazarlioglu orang Turki. Ia sudah 17 tahun penyidik kasus pembunuhan di Kepolisian Turki. Fokus pada post-mortem. Kini ia memperdalam ilmu di Ruhr-Universitat Bochum di bawah koordinasi Prof Wolfang Kirchner, guru besar fakultas biologi dan bioteknologi di situ.
Kirchner pakar belatung.
Di jurnal itu disebutkan, semua mayat manusia pasti berbelatung. Tapi, jenisnya berbeda-beda. Belatung di mayat yang langsung dikubur setelah kematian beda dengan belatung di mayat yang menunggu beberapa hari penguburan.
Belatung pada mayat yang terbuka beda dengan belatung di mayat yang masuk peti mati. Semua teori tersebut berdasarkan riset di Ruhr-Universitat Bochum.
Bahan percobaan riset adalah mayat babi. Sebab, struktur jaringan tubuh babi mirip manusia. Disebut riset entomologi forensik.
Karapazarlioglu: ”Ada dua metode untuk menentukan waktu kematian manusia menggunakan entomologi forensik. Meneliti belatung pada mayat. Atau meneliti serangga pada sekitar mayat. Dua cara itu akan sampai pada kesimpulan yang sama, soal waktu dan penyebab kematian.”
Teknik risetnya menggunakan mayat dua babi dengan usia dan bobot yang kurang lebih sama. Jam kematian harus sama, dengan cara dibunuh.
Babi yang satu dibiarkan berada di tempat terbuka. Di dalam ruangan, tapi terbuka, tidak di dalam kotak. Juga, tidak dikubur.
Babi satu lagi dikubur, tapi dilapisi kaca. Dengan demikian, mayatnya bisa dilihat tim peneliti dari permukaan tanah. Tujuannya, tidak sewaktu-waktu membongkar kuburan untuk meneliti perkembangan.
Sebab, jika peneliti membongkar kuburan babi, struktur mayat bisa rusak. Juga, terkontaminasi dengan serangga di luar kuburan. Menimbulkan bias.
Pada mayat di tempat terbuka, lalat akan datang otomatis, paling cepat sejam setelah detik kematian. Sasaran utama yang dituju lalat adalah mata. Kalau di mata sudah terlalu banyak lalat, lalat yang datang berikutnya menuju hidung dan mulut. Gerombolan lalat berikutnya ke kuping.
Lalat di jasad makan jaringan tubuh mati. Kemudian, bertelur di situ. Lima hari kemudian telur menetas, jadi belatung.
Jutaan belatung itu juga makan jaringan tubuh yang mati. Lalu membesar. Gemuk-gemuk. Kemudian jadi lalat.
Kurun waktunya, tepat sebulan sejak jadi belatung, berubah jadi lalat. Lalat baru bertelur lagi di situ, sebagai generasi kedua. ”Maka, penelitian belatung akan mengungkap titik waktu kematian,” tulis Karapazarlioglu.
Mayat yang dikubur juga berbelatung. Jumlah jutaan juga. Bentuk belatungnya beda dengan mayat di tempat terbuka. Kecepatan gerak dan makan kedua jenis belatung itu juga beda.
Karapazarlioglu menggambarkan, tingkat kecepatan kerusakan mayat antara yang dikubur dibanding di ruang terbuka 1 banding 18.