Apa pun, kiblat industri bola adalah Eropa. Seperti kiblat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka tidak hanya memimpin perkembangan peradaban dunia selama ini. Tapi, juga dalam hal perkembangan industri sepak bola.
Memang sempat ada kejutan-kejutan dan Piala Dunia Qatar. Misalnya, kemenangan Arab Saudi atas Argentina, Jepang mengalahkan Jerman, dan Iran menang dramatis atas Wales. Namun, kejutan-kejutan itu tak berlanjut.
Lantas, bagaimana dengan keunggulan negara berkembang lainnya seperti Senegal, Kosta Rika, dan sebagainya. Yang mungkin bisa menjelaskan karena mereka sudah sejak lama punya banyak pemain yang merumput di negara maju bola.
Mulanya para pemain dari negara-negara miskin itu migrasi ke negara maju untuk mengadu nasib. Di antara mereka, ada yang punya bakat bola dan bernasib baik ditemukan para pencari bakat. Akhirnya, mereka menjadi pemain profesional di negara maju.
Sadio Mane, misalnya. Pemain yang kini berlabuh di Bayern Muenchen FC, Jerman, itu lahir dan besar di Senegal. Ia kemudian sukses menjadi pemain profesional di klub-klub ternama di Eropa. Di negaranya, ia pasti menjadi model bagi anak-anak muda lainnya. Menginspirasi anak-anak muda dari negaranya.
Di bidang apa pun, kemajuan tak mungkin terjadi tanpa berinteraksi dengan kelompok lain di dunia. Berinteraksi secara terbuka dengan negara-negara lain. Membuka diri dengan berbagai budaya dan karakter yang berkembang di berbagai belahan dunia. Apalagi dalam dunia global seperti sekarang.
Secara alamiah, manusia telah diciptakan berbeda-beda. Agar mereka saling mengenal. Kemudian, saling membentuk kesepakatan. Saling mengorganisasikan diri dalam berbagai komunitas, negara, dan bangsa.
Bahwa kemungkinan ada benturan budaya, itu juga niscaya. Namun, mau belajar dari bangsa lain adalah cara yang paling masuk akal untuk menjadi umat manusia. Mengambil sesuatu yang baru yang baik, mempertahankan yang lama yang juga baik.
Dalam kaitan itu, saya mempunyai harapan besar untuk Indonesia masa depan. Sebab, meski ada arus yang berusaha untuk menarik kembali ke masa lalu, masih lebih banyak yang terbuka untuk belajar dari hal-hal yang berkembang di luar. Terutama dari negara yang telah terbukti maju.
Harapan itu makin menyala setelah mendapat kiriman foto kegiatan Persatuan Pelajar Indonesia di Glasgow, United Kingdom. Foto yang dikirim anak wedok saya yang sedang kuliah S-2 di University of Glasgow itu menggambarkan banyaknya anak Indonesia yang kuliah di kota tersebut. Ada puluhan.
Bayangkan, jika dalam satu kota di Inggris ada puluhan mahasiswa Indonesia, berapa jumlahnya di satu negara. Berapa di benua itu. Berapa pula mahasiswa Indonesia yang tersebar di seluruh dunia. Mereka adalah generasi baru yang akan mewarnai Indonesia sepuluh tahun ke depan.
Dalam hal ini, saya tergolong penganut paham optimistik. Bukan pesimistik. Rasanya, bangsa ini sudah dalam jalur yang benar. Membuka diri dan tidak owel atau ragu-ragu mengirim para anak muda pandainya kuliah ke luar negeri. Melalui berbagai program beasiswa yang makin banyak.
Tidak hanya dalam bola, kita perlu belajar ke negara yang sudah terbukti lebih maju. Dalam segala segi kehidupan pun harus tidak boleh menutup diri. Apalagi dengan revolusi teknologi informasi yang membuat makin borderless dalam hal arus informasi. Apalagi, punya pikiran kembali ke zaman dulu.
Yang barangkali penting untuk dipikirkan adalah bagaimana kita menyerap kemajuan, tapi tetap berpijak pada karakter bangsa sendiri. Sebab, hampir negara yang maju selalu mempunyai karakter yang tetap harus dipertahankan. Kekhasan lokal yang menjadi pijakan. Nilai-nilai yang membedakan dengan bangsa lainnya.
Maroko memang belum menjadi negara andalan. Tapi, sepak bolanya telah menunjukkan pencapaian yang mengejutkan. Tentu di luar keunggulan wisatanya yang telah membuat jatuh hati para seleb untuk punya rumah di sana. Negeri tasawuf yang unggul juga di permainan dunia: bola.
Mengasyikkan kan? Kapan Indonesia bisa juga demikian! (*)