Gelombang PHK Start-up

Rabu 30-11-2022,04:30 WIB
Reporter : Imron Mawardi*

AKHIR tahun ini, perusahaan-perusahaan start-up melakukan efisiensi besar-besaran. Belasan start-up melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja) massal. Termasuk nama-nama besar seperti GoTo, Shopee, Ruangguru, dan sebagainya. 

Decacorn GoTo, misalnya, telah melakukan perampingan hingga 1.300 karyawan atau sekitar 13 persen. Begitu juga Shopee yang menutup satu dari tiga kantornya di Jakarta. LinkAja bahkan mem-PHK sekitar 33 persen karyawannya. Belum lagi Zenius, Xendit, Binar Academy, Ruangguru, dan sebagainya.

PHK besar-besaran start-up berbasis teknologi itu menjadi fenomena menarik. Apalagi di tengah ancaman resesi ekonomi 2023. Apakah itu antisipasi terhadap kemungkinan krisis? Mereka tidak secara terbuka menjelaskan alasan PHK besar-besaran. Kecuali perusahaan melakukan konsolidasi dan mengubah fokus perusahaan.

Yang jelas, kondisi ekonomi global cukup berpengaruh terhadap rencana bisnis para start-up. Itu tidak lepas dari biaya modal yang meningkat signifikan akibat kenaikan tingkat bunga di Amerika Serikat (AS) yang signifikan. The Fed telah menaikkan tingkat bunga di AS ke level yang cukup tinggi, 3,75–4 persen. Padahal, akhir tahun lalu tingkat bunga di AS masih berada di bawah 0,25 persen. 

Cost of capital memang terus menunjukkan kenaikan signifikan. Itu sekaligus menandakan risiko yang cukup besar. Investor pun merespons dengan kehati-hatian. Apalagi terhadap start-up. Di sisi lain, kondisi itu dilihat start-up sebagai potensi kesulitan untuk mencari pendanaan. Alhasil, start-up melakukan efisiensi. PHK adalah salah satu upaya efisiensi itu. 

Tampaknya, pertumbuhan bisnis berbasis teknologi pasca-Covid ini juga tidak sesuai ekspektasi para start-up. Itu bisa dilihat dari GoTo. Pada laporan keuangan kuartal I 2022, beban gaji  GoTo  mencapai Rp 3,5 triliun. Itu sangat timpang dengan pendapatannya yang hanya Rp 1,49 triliun.

Kondisi tersebut jelas tidak bisa dipertahankan GoTo. Pendapatan tidak sebanding dengan biaya operasional yang begitu besar. Dan itu berlanjut pada semester I 2022. Beban gaji GoTo tercatat Rp 7,4 triliun, sementara pendapatannya hanya Rp 3,4 triliun. 

Kondisi seperti itulah yang memicu kebijakan PHK besar-besaran. Tampaknya, gaya manajemen yang jor-joran dalam menggaji profesional di start-up membuat perusahaan bleeding. Apalagi, revenue yang dihasilkan jauh dari ekspektasi mereka. Usainya pandemi ternyata tak membuat gaya hidup masyarakat mengandalkan transaksi berbasis teknologi.

Jauhnya kenyataan dibanding ekspektasi start-up itu membuat konsolidasi besar-besaran harus dilakukan. Efisiensi dilakukan. Bukan hanya melakukan PHK untuk memangkas karyawan, tapi juga konsolidasi biaya-biaya yang dinilai berlebihan. Termasuk gaji profesional dan karyawan. 

Itu diakui Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi. Banyak start-up yang memiliki kebiasaan kurang bagus dalam operasionalnya. Misalnya, gaji jor-joran, fasilitas mewah, dan sewa kantor yang berlebihan untuk menunjukkan eksistensi start-up yang memiliki prospek besar di masa depan. 

Dari sisi mikro, PHK massal itu tampaknya terjadi juga karena overstaffing. Terlalu banyak karyawan. Itu tak lepas dari ekspektasi besar para start-up terhadap prospek bisnis mereka tahun ini, usai meredanya Covid-19. Itu membuat beban manajemen terlalu besar dan makin terasa di akhir tahun ketika omzet perusahaan jauh dari ekspektasi. 

Fenomena PHK massal itu sebenarnya tidak hanya di Indonesia. Data Layoffs.fyi, misalnya, menyebutkan bahwa dalam setahun ini setidaknya  sudah ada 850 start-up dan perusahaan teknologi mapan di seluruh dunia yang melakukan PHK. Jumlah total karyawan yang dipecat mencapai 137 ribu orang.  Secara global, pemecatan paling banyak terjadi pada November 2022 dengan korban PHK sekitar 45 ribu orang. Angka tersebut mencakup PHK karyawan Meta, Amazon, Twitter, GoTo, dan SIRCLO. 

Dampak ekonomi global selalu disebut-sebut sebagai penyebab banyaknya PHK yang dilakukan start-up. Namun, gejolak ekonomi bukanlah satu-satunya faktor. Kebiasaan start-up ”bakar uang” dan turunnya pendanaan dari investor menjadi penyebab utama. 

Itu bisa dilihat dari apa yang terjadi pada start-up unicorn India bervaluasi terbesar, Byju. Perusahaan itu telah mem-PHK 2.500 karyawan. Tapi, langkah tersebut dipandang strategis oleh investor. Terbukti, pasca-PHK, Byju justru mengumumkan penggalangan modal USD 250 juta (atau sekitar Rp 3,86 triliun) dari investor existing. Byju akan menggunakan dana USD 250 juta tersebut untuk menyusun ulang strategi. Kondisi perekonomian yang memburuk memaksa Byju membatalkan proses masuk bursa dan merumahkan ribuan pegawai.

Bagaimana tahun 2023? Tampaknya tren PHK masih akan terus berlanjut. Banyak start-up yang harus melakukan konsolidasi karena cost-nya sudah jauh di atas pendapatannya. Meningkatnya  expected return investasi di AS membuat dana banyak masuk dan kembali ke AS. Itu membuat dana investor yang ditawarkan kepada para start-up berkurang sehingga para start-up kesulitan menambah modalnya. Efisiensi menjadi langkah penting untuk bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi dan ancaman resesi tahun depan. (*)

Kategori :