Jepang dan video game seperti tak terpisahkan sejak lama. Mulai era Super Mario hingga Final Fantasy. Tetapi, kini mulai muncul kekhawatiran itu: kecanduan di kalangan anak-anak.
--
TIONGKOK dan Korea Selatan sudah selangkah lebih maju. Mereka sudah memerangi kecanduan game tersebut.
Pada November, Tiongkok sudah bisa menepuk dada. Mereka bilang, tak ada lagi anak-anak yang jadi edan gara-gara game. Caranya, waktu nge-game dibatasi. Anak-anak hanya boleh bermain selama tiga jam per pekan. Akun game juga tidak bisa sembarangan diakses oleh anak di bawah umur. Pendaftar game harus mengunggah kartu identitas. Semacam KTP. Game—dan gawai untuk memainkannya—juga harus dilengkapi dengan aplikasi pengenalan wajah.
Sementara itu, tahun lalu Korea Selatan menghapus larangan bermain game pukul 00.00-06.00 untuk anak-anak di bawah 16 tahun. Sebelumnya, aturan itu diprotes. Sebab, dinilai kuno dan tidak efektif.
Japan tak punya aturan seperti itu. Mereka sebenarnya punya undang-undang pada 2020 yang mengatur bahwa anak di bawah 18 tahun hanya boleh bermain game sejam sehari. Tetapi, aturan itu seperti macan ompong. Tak ada mekanisme penerapan yang cespleng.
Karena itu, sebuah kelompok di Tokyo pun berhimpun. Saban bulan mereka bertemu. Membahas cerita dan strategi untuk melawan kecanduan game pada anak-anak mereka. ’’Saya merasa cukup lega ketika anak saya berjanji enggak main sepanjang malam,’’ kata seorang ayah. Anaknya baru saja keluar dari kamp untuk mengatasi kecanduan.
Kondisi itu disadari oleh Sakiko Kuroda, pendiri kelompok tersebut. Dia bilang bahwa anak-anak Jepang sudah mulai main game sejak usia SD. Dan pandemi membuat anak-anak itu nge-game terus-terusan.
Banyak orang tua yang bingung melihat kenyataan itu. ’’Apalagi, tidak ada aksi dari pemerintah dan industri game,’’ ucap Kuroda yang mendirikan grup itu pada 2019.
WHO sudah menggolongkan kecanduan game sebagai perilaku yang memengaruhi hubungan antarmanusia, pendidikan, dan pekerjaan.
Kementerian Pendidikan Jepang merilis survei pada April 2022. Di situ tampak bahwa 17 persen anak berumur 6-12 tahun menghabiskan empat jam sehari untuk bermain game. Padahal, pada 2017, persentasenya hanya sembilan persen. Kenaikan persentase itu juga terjadi pada anak berusia 12-15 tahun.
MIA ITOSHIRO, konselor kecanduan game, yang secara rutin mengisi seminar untuk orang tua di Tokyo.-FOTO: KAZUHIRO NOGI-AFP-
"Game punya sistem cerdas untuk memikat orang agar terus bermain. Aplikasi harus diperbarui, uang virtual terus menerus dikeluarkan,’’ kata Mia Itoshiro, konselor kecanduan game.
Dia mengaku banyak menerima orang tua yang mengeluh. Anak-anak mereka tidak mau sekolah karena lelah setelah bermain semalaman.
Kepada Agence France-Presse, seorang ibu mengaku bahwa sang anak tak bisa dipisahkan dengan game. Sangat obsesif. Membikin stres. Misalnya, ketika dia ingin mengambil tablet dari sang putri yang baru berusia 10 tahun. ’’Kalau game ini diambil, aku akan mati,’’ seru sang anak. Ibu itu pun terkejut.