Bayang-Bayang Resesi

Rabu 28-12-2022,05:00 WIB
Reporter : Imron Mawardi*

EKONOMI dunia 2023 dibayangi kegelapan. Penuh ketidakpastian. Ini tak lepas dari tensi geopolitik Rusia-Ukraina yang tak kunjung turun. Posisi kedua negara itu sebagai pemasok penting energi dan pangan berdampak pada disrupsi rantai pasok global. Harga komoditas pun volatile, dan membuat inflasi di berbagai negara meningkat tajam. 

Laju inflasi tinggi di negara maju yang diperkirakan berlangsung lebih lama harus direspons oleh kebijakan moneter yang lebih ketat. Kenaikan suku bunga, terutama oleh The Fed, bank sentral Amerika Serikat (AS) diperkirakan tetap berlanjut pada 2023 dan tetap tinggi dalam waktu yang lama. Itu juga diikuti oleh bank sentral negara-negara Eropa. 

International Monetary Fund (IMF) pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan mencapai 2,7 persen tahun depan, melambat dari 3,2 persen pada 2022. Indikator-indikator itu sudah menunjukkan adanya potensi penurunan pertumbuhan ekonomi global yang akan terus berlanjut. IMF menilai, tingginya harga pangan dan energi serta masih tingginya laju inflasi di banyak negara berisiko menimbulkan resesi global pada 2023. 

BACA JUGA:Inefisiensi Anggaran Kemiskinan

Dana Moneter Internasional itu pun  memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi negara maju. Dari 2,4 persen tahun ini ke 1,1 persen pada 2023. Ekonomi negara berkembang diperkirakan tumbuh stagnan sebesar 3,7 persen pada 2023.

OECD Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,2 persen pada 2023. Dalam laporan terbaru OECD, disebutkan bahwa perekonomian global menghadapi tantangan yang semakin berat. Pertumbuhan ekonomi dunia telah kehilangan momentum, terbukti dari inflasi yang terus meningkat, melemahnya kepercayaan konsumen, dan ketidakpastian yang semakin tinggi. 

OECD juga mencatat bahwa kondisi keuangan global telah mengetat secara signifikan, di tengah langkah-langkah yang luar biasa gencar dan marak untuk menaikkan suku bunga kebijakan oleh pusat bank dalam beberapa bulan terakhir. Kebijakan tersebut telah membebani pengeluaran yang sensitif terhadap bunga dan menambah tekanan yang dihadapi oleh banyak ekonomi pasar berkembang.  OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2023 akan melambat ke 2,2 persen. Jauh lebih rendah daripada proyeksi 2022 yang mencapai 3,1 persen.  

Saat ini, setidaknya ada tiga raksasa ekonomi yang lagi gelap. Amerika Serikat, Jerman, dan Tiongkok. Kini, AS harus berjibaku menurunkan inflasi yang mengganas hingga menembus 8 persen. Itulah inflasi tertinggi dalam 40 tahun terakhir di AS. Negara-negara Eropa mengalami keadaan yang mirip.

Jerman juga menghadapi kondisi yang buruk. Harga energi yang melonjak mengganggu industry Jerman. Data menunjukkan bahwa konsumsi energi tahun 2022 ini menurun di kisaran 20 persen yang menandakan Jerman mengalami deindustrialisasi. Dampaknya adalah penurunan ekspor yang akan mengganggu ekonomi Jerman. 

China juga mengalami hal yang sama. Infrastruktur yang menopang negeri Panda ini mengalami penurunan drastis. Laporan pertumbuhan industri Tiongkok menunjukkan bahwa sektor properti turun hingga 45 persen. Penjualan rumah anjlok 30 persen. Begitu juga investasi properti. 

Bagaimana Indonesia? Bersama emerging market lainnya, India, Brazil, dan Meksiko, Indonesia relatif cukup baik. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 sedikit lebih rendah, yaitu 5 persen. Turun sedikit dari perkiraan 2022 yang 5,3 persen. World Bank juga memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2023  masih tumbuh sebesar 4,8 persen

IMF memperkirakan ekonomi India akan tumbuh 6,8 persen tahun ini dan 6,1 persen tahun depan. Sementara itu, IMF memperkirakan Indonesia tumbuh 5,3 persen tahun ini dan 5 peren pada 2023. Tapi, multiplier effect dari negara-negara maju akan membuat risiko penurunan cukup besar. 

Menghadapi ancaman resesi global ini, pemerintah harus fokus untuk mengamankan tiga sektor penting. Energi, pangan, dan sektor keuangan. Kebutuhan energi dan pangan sepertinya cukup aman untuk 2023-2024. Namun, pemulihan pasca-pandemi harus diantisipasi dengan memastikan kebutuhan energi. Di sektor ini, kita tidak benar-benar aman, karena Indonesia tercatat sebagai net-importer minyak. 

Kecukupan pangan juga harus menjadi perhatian pemerintah. Saat ini, harga pangan utama, beras, terus meningkat. Impor pun tidak mudah, karena selain harga global yang naik juga karena banyak eksporter pangan meningkatkan buffer pangannya masing-masing. Kemarin, pemerintah sudah memastikan akan mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton untuk meningkatkan cadangan Bulog yang menurun drastis.

Di sektor keuangan, pemerintah perlu memperkuat stabilitas rupiah di tengah upaya AS meningkatkan tingkat bunga yang berdampak pada penguatan dolar. Terus naiknya bunga di AS meningkatkan ekspektasi return investasi yang memicu terjadinya capital outflow ke AS dari emerging market seperti Indonesia. Sementara upaya menahan dengan menaikkan tingkat bunga akan berdampak buruk pada menurunnya kredit akibat tingginya bunga pinjaman. Ini juga bisa memicu melemahnya perekonomian. (*)

Kategori :