Inefisiensi Anggaran Kemiskinan

Inefisiensi Anggaran  Kemiskinan

-Ilustrasi: Annisa Salsabila-Harian Disway-

PASCAPANDEMI, kemiskinan menjadi masalah serius bagi Indonesia. Berbagai upaya dilakukan, namun kemiskinan turun tak terlalu signifikan. Penduduk miskin mencapai 26,16 juta jiwa. Ini sekitar 9,54 persen dari jumlah total penduduk Indonesia per Maret 2022. Turun sekitar 0,6 persen dibanding Maret 2021 dan 0,17 persen atau sekitar 340 ribu dari September 2021.

Penurunan penduduk miskin itu cukup mengecewakan. Sebab, anggaran pengentasan kemiskinan itu begitu besar. Menurut data di Kementerian PAN-RB, anggaran pengentasan kemiskinan mencapai Rp 500 triliun. Itu hanya di Kementerian dan Lembaga. Belum termasuk dana pengentasan kemiskinan di Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. 

Fakta tersebut menunjukkan bahwa program pengentasan kemiskinan sangat tidak efisien. Anggaran mencapai Rp 500 triliun. Namun, penurunan penduduk miskin hanya 1,38 juta orang. Itu berarti ongkos mengentaskan satu orang miskin mencapai Rp 362 juta. Biaya yang sangat mahal. 

Padahal, orang tak lagi miskin jika pengeluarannya lebih dari Rp 505.469 sebulan atau Rp 6,06 juta per tahun (BPS, 2022).  Dengan asumsi orang miskin tidak memiliki pendapatan sama sekali, maka jika mereka diberi bantuan langsung, nilainya cukup Rp 505.469 per bulan atau Rp 6,06 juta per tahun.

Dengan demikian, jika seluruh penduduk miskin diberi bantuan sebesar garis kemiskinan, maka totalnya hanya Rp 158,52 triliun. Jauh di bawah anggaran pengentasan kemiskinan di Lembaga/Kementerian yang mencapai Rp 500 triliun. Jika rata-rata penduduk sudah memiliki pendapatan separo dari garis kemiskinan, maka untuk mengentaskan 26,16 juta penduduk miskin hanya memerlukan anggaran sekitar Rp 79,2 triliun.

Menurut survey BPS, Garis Kemiskinan pada Maret 2022 sebesar Rp505.469,00/kapita/ bulan. Itu terdiri atas Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp374.455,00 (74,08 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp131.014,00 (25,92 persen).

Pada Maret 2022, secara rata-rata, rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,74 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.395.923,00/rumah tangga miskin/bulan.

Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep itu mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh Worldbank.

Dengan pendekatan tersebut, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Garis Kemiskinan (GK) mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. GK terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

 Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain).

Sementara Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) adalah nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan non-makanan berupa perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditas kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

Mengapa tidak efisien? Tampaknya, sebagian besar anggaran pengentasan kemiskinan tidak dinikmati oleh orang-orang miskin yang menjadi objek. Yang menikmati justru orang pemerintahan. Untuk biaya perjalanan, hotel, akomodasi, dan uang saku. 

Fakta ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam membuat program pengentasan kemiskinan. Harus diidentifikasi dengan baik masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang layak diberdayakan. Juga harus diberi batas atas anggaran pengeluaran untuk pengentasan kemiskinan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: