SURABAYA, HARIAN DISWAY- Ki Ompong Soedarsono, dalang asal Temanggung, Jawa Tengah berkeliling Indonesia. Tujuannya satu. Yaitu mengenalkan kesenian wayang pada anak. Sudah empat hari Ki Ompong berada di Surabaya. Ki Ompong mendalang di sejumlah tempat.
Saat ditemui Harian Disway di Jalan Tubanan, Senin, 25 Desember 2022 lalu, pria berambut gimbal itu tengah menghibur ibu-ibu dan anak-anak di sana. Bukan di panggung besar yang diiringi gamelan dan sinden. Pagelaran wayang hanya digelar di jalan selebar 3,5 meter.
Wayang kulit yang dimainkan hanya diperankan oleh Bagong dan Semar. Dua dari empat tokoh punakawan. Kisah yang diceritakan juga cukup unik. Ki Ompong selalu mengambil dari kehidupan sehari-hari. Atau isu dan permasalahan yang sedang berkembang di masyarakat.
Ki Ompong Sudarsono (kiri) memainkan lakon wayang di depan ibu-ibu di kawasan Tubanan, Surabaya.-Julian Romadhon-
Seperti malam itu misalnya, ia menceritakan tentang anak yang meminta uang jajan kepada bapaknya. Wayang Bagong berperan sebagai anak dan Semar jadi bapaknya.
Diceritakan, Bagong datang meminta uang kepada bapaknya. Ki Ompong memulai atraksinya sambil mengambil wayang Semar di depannya. Dengan tangan kiri, ia memegang erat wayang itu. Sekejap, wayang yang awalnya hanya sebuah benda mati itu tampak hidup di tangan Ki Ompong. Tokoh Semar terlihat berdiri dengan penuh wibawa dan bijaksana.
Sambil bergerak naik turun, tangan kanan Ki Ompong mengarahkan Bagong mendekati Semar. Gambaran seorang anak kecil yang berjalan mendekati bapaknya. “Onok opo le (ada apa nak)?” Kata sang dalang menirukan suara seorang bapak. “Njaluk duite pak. Gawe jajan (minta duitnya pak. Untuk jajan),” dengan cepat pria itu mengubah suaranya menjadi seperti anak kecil.
Kemudian bapaknya (Semar) menyuruh meminta pada ibunya. “Bu njaluk duite (minta uangnya),” kata Ki Ompong sambil mengarahkan wayang bagong kepada para ibu yang menonton di sana. Seakan mereka adalah ibunya bagong.
“Gak onok le (tidak ada nak),” sahut seorang ibu, sambil tertawa bahagia karena merasa turut dilibatkan dalam pertunjukan tersebut. Ki Ompong meminta nasihat dari ibu berbaju hijau tosca itu. “Sekolah sing pinter. Ben gede iso dadi dokter (sekolah yang pintar biar besar jadi dokter),” jawabnyi memberi nasihat.
Di tengah-tengah pertunjukannya, Ki Ompong mengajak para penonton bernyanyi. Sambil menabuh gendang terbang yang selalu dibawanya, mereka bersama-sama menyanyikan lagu balonku ada lima. Suasana itu sengaja diciptakannya. Selain menambah keceriaan, juga supaya anak-anak tetap mengenal lagu-lagi dolanan. Pertunjukan ditutup tepuk tangan penonton yang diiringi lagu sayonara.
“Ya seperti itu tadi mas, pertunjukan saya. Saya selalu menggunakan bahasa yang interaktif. Sehingga semua yang menonton turut terlibat. Ide-ide bahkan unek-unek para penonton bisa dikeluarkan saat pertunjukan itu,” kata Ki Ompong, usai pertunjukan singkatnya.
Darah seni yang sangat kental mengalir pada dirinya. Ayahnya, Muliono, juga pegiat seni wayang kulit di Temanggung. Bahkan, sejak tahun 1999 hingga 2005, ayahnya ikut dalang kondang Ki Manteb Sudarsono.
Ditemani secangkir kopi, pria berdarah Blitar itu terus berbagi kisahnya. Dia sudah berkeliling Indonesia untuk memperkenalkan tradisi wayang. Dengan harapan wayang tidak punah. Apalagi dikalahkan oleh gadget saat ini.
Di setiap daerah, ia juga menggunakan cerita daerah dan bahasa sehari-hari di sana. Sehingga pesan-pesan yang disampaikannya mudah dipahami. Karena ada kedekatan emosional dengan masyarakat.
“Seperti waktu di NTT, saya ada penerjemahnya. Saya menggunakan bahasa Indonesia, nanti diterjemahkan pakai bahasa lokal. Dengan begitu akan jadi mudah untuk dimengerti,”ungkapnya, sambil duduk bersila di pinggir jalan.
Ki Ompong tidak pernah memberi tarif untuk setiap pertunjukannya. Lalu dari mana uang untuk berpindah dari satu kota ke kota lain? Dengan santai ia menjawab. Kalau dia tidak pernah memikirkan hal itu.