Dilihat dari profil status bahasa daerah di Indonesia, telah terjadi pergeseran penggunaan bahasa. Menurut Steinhauer (1994), faktor-faktor penyebab pergeseran bahasa di Indonesia, antara lain, mobilitas penutur sebagai akibat dari adanya modernisasi; ranah penggunaan bahasa daerah diambil alih bahasa Indonesia; dan para orang tua tidak mentransfer bahasa daerah kepada anak-anak, tetapi justru lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan lemahnnya posisi bahasa ibu (bahasa daerah) di masyarakat, terutama di wilayah-wilayah perkotaan. Melemahnya atau bahkan hilangnya bahasa ibu sesungguhnya juga berimplikasi pada hilangnya nilai-nilai kearifan lokal di tengah-tengah masyarakat kita.
Kearifan lokal itu merupakan kekayaan budaya atau modal budaya (kultural) yang dimiliki komunitas lokal (Atmaja, 2008:15). Hilangnya bahasa ibu sebagai kearifan lokal berimplikasi terhadap hilangnya budaya sehingga penjagaan dan pemeliharaan terhadap bahasa ibu sangat penting dilakukan agar tetap eksis menjadi modal sosial masyarakat.
Bahasa memiliki fungsi sebagai penyimpan tata nilai budaya, termasuk etika dan moral yang tersimpan dalam berbagai bentuk kosakata, pantun, cerita rakyat, sastra, mitos, legenda, tradisi lisan, dan ungkapan (Lauder, 2022). Dengan fungsi tersebut, bahasa merupakan pelestari dan penjaga budaya.
Ketika sebuah bahasa punah, sastra dan budayanya akan ikut punah. Punahnya bahasa-bahasa daerah berakibat pula pada hilangnya kekayaan warisan bangsa. Pengetahuan dan nilai-nilai budaya dengan sendirinya akan hilang lenyap apabila bahasa sebagai pendukung budaya itu punah (Harrison, 2007; Nettle and Romaine, 2000). Matinya sebuah bahasa sering kali dikaitkan dengan matinya identitas budaya.
Dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional ini, menjaga bahasa dalam bentuk pemertahanan bahasa ibu adalah dalam rangka penguatan kearifan lokal dan merupakan langkah yang strategis agar masyarakat kita tidak kehilangan jati diri dalam pergaulan globalnya
Agar bahasa ibu tetap eksis dan memiliki daya hidup (vitalitas) yang tinggi, diperlukan berbagai usaha yang positif ke arah itu. Dalam Kongres Bahasa Indonesia XI/2018, ada tiga keputusan yag terkait dengan bahasa ibu.
Yakni, (1) Kemendikbudristek harus menerbitkan ketentuan dan pedoman kegiatan mendongeng dan membacakan cerita pada anak-anak usia dini; (2) pemerintah harus meningkatkan dan memperluas revitalisasi tradisi lisan untuk mencegah kepunahan; (3) pemerintah dan pemerintah daerah harus mengintensifkan pendokumentasian bahasa dan sastra daerah secara digital dalam rangka pengembangan dan pelindungan bahasa dan sastra.
Dengan tiga keputusan Kongres Bahasa Indonesia tersebut, diharapkan pemerintah lebih peduli lagi terhadap keberlangsungan hidup bahasa-bahasa ibu di Indonesia dan menetapkan kebijakan yang tepat terkait bahasa ibu. Dalam pendidikan dasar, misalnya, pemerintah sebaiknya menetapkan kebijakan yang tepat sesuai dengan jenjang pendidikannya.
Keterlibatan generasi muda juga sangat penting dalam pelestarian bahasa ibu. Keberlangsungan hidup sebuah bahasa sesungguhnya terletak di pundak generasi muda. Generasi yang melek teknologi dapat melakukan pelestarian secara digital.
Dalam era yang serbadigital saat ini, pelestarian bahasa dapat didigitalisasi dengan mengumpulkan dongeng, cerita rakyat, sejarah lokal, resep masakan, tata cara pernikahan, berbagai ritual, peribahasa daerah, lagu-lagu daerah, termasuk toponimi. Pengumpulan bahan-bahan tersebut dapat menjadi langkah awal dalam menjaga sebuah bahasa dari kepunahan.
Dalam gempuran budaya global dan di tengah antusiasme masyarakat dalam menerima pengaruh dunia luar, masyarakat kita –terutama generasi muda– perlu diingatkan secara terus-menerus tentang pentingnya bahasa daerah sebagai identitas lokal dalam konteks global. Menjadi global tidaklah harus kehilangan nilai-nilai lokal, sebagaimana dikemukakan Ignas Kleden (1987: 214), membangun tradisi tanpa sikap tradisional.
Mengiternasional tidak harus tercerabut dari akar budaya, tidak harus kehilangan pijakan kuat pada tradisi yang mengandung tata nilai, moral, kesantunan, dan sebagainya. Justru, dalam menggapai dunia global, pijakan harus kuat terlebih dahulu pada akar budaya dan tradisi agar tidak menjadi generasi yang mengambang.
Menurut Lauder (2022), untuk mengoptimalkan peran bahasa dan budaya dalam konteks persatuan dan kesatuan bangsa, perlu dicetuskan bahwa anak Indonesia yang cerdas dan mandiri adalah seseorang yang menguasai minimal tiga bahasa sekaligus.
Yaitu, (1) bahasa daerah sebagai penanda jati diri dan sebagai pelestari kebinekaan; (2) bahasa Indonesia sebagai peneguh keindonesiaan untuk berkarya, berprestasi, serta berinteraksi pada tataran nasional; (3) bahasa asing/Inggris sebagai media untuk menyerap ilmu pengetahuan dan berkiprah secara profesional pada tingkat internasional.
Mengingat pentingnya keberlangsungan hidup bahasa-bahasa ibu di seluruh dunia dan nilai-niai budaya yang dikandungnya, tepatlah UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional untuk menghindari kepunahan bahasa-bahasa ibu tersebut.