Akhirnya: ”Kepada debt collector di kasus ini, kami minta menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya. Atau, kami akan tindak tegas.”
Keras. Tegas. Berani. Sikap aparat Polda Metro Jaya, setelah kapoldanya memberikan perintah harian kepada jajaran, Fadil: ”Lakukan patroli di Jakarta dan sekitarnya secara rutin. Jika ada preman, cepat tangkap. Kagak pake lama.”
Nuansa konfrontasi terhadap premanisme sangat jelas dilancarkan polisi. Bahkan, Fadil menyinggung perusahaan yang menggunakan tenaga debt collector. ”Jangan lagi lakukan itu,” tegasnya.
Sikap tersebut bakal menjalar ke wilayah lain di Indonesia. Selama ini, meletup aneka kasus debt collector di berbagai wilayah Indonesia. Penanganan beda-beda. Belum seragam.
Polda Metro Jaya bakal jadi rujukan wilayah lain dalam menangani debt collector. Tegas dan keras.
Pertanyaannya, apakah itu tidak menimbulkan kemacetan utang pada lembaga keuangan nonbank? Sebab, bank sekarang sudah tidak lagi menggunakan jasa debt collector. Penyebabnya, itu tadi, selalu bermasalah hukum pidana. Sedangkan utang piutang diatur dalam KUHPerdata. Bukan pidana.
Inti masalah itu bersumber pada kelemahan analis kredit. Pegawai bank dan lembaga keuangan nonbank bagian analisis calon debitur lemah. Atau sengaja lemah. Bertujuan menyalurkan dana kredit.
Sebab, bank dan lembaga keuangan nonbank mengalami overlikuid atau kelebihan dana pihak ketiga. Dana pihak ketiga (DP3) adalah dana yang dihimpun lembaga keuangan dari masyarakat.
DP3 ada tiga jenis: Simpanan giro (demand deposit). Simpanan tabungan (saving deposit). Simpanan deposito (time deposit).
Kalau DP3 kebanyakan, sedangkan pihak bank wajib dan rutin memberikan bunga kepada penabung, bank harus cepat menyalurkannya dalam bentuk kredit. Dengan demikian, terjadilah agresivitas kredit. Marketing lembaga keuangan gencar mendesak orang agar berutang. Orang yang nggak niat utang ditawari atau dirayu agar berutang.
Ya... Orang konsumtif atau gemar utang pasti menerima desakan itu. Senang. Terima uang. Akibatnya, utang macet. Jalan keluarnya debt collector. Akhirnya jadi problem hukum. Yang oleh Polda Metro Jaya kini disebut preman. (*)