SURABAYA, HARIAN DISWAY- Setiap kali pesta demokrasi di Indonesia, kecurangan terus terjadi. Dulu, saat Orde Baru, kecurangan itu dilakukan pemerintah. Pemerannya ABG (ABRI, birokrasi, dan Golkar). Kini kecurangan dilakukan peserta pemilu itu sendiri. Sesama partai saling menjatuhkan.
”Pemerintah yang menang harus Golkar. Yang jadi bupati-wali kota harus dari TNI. Sekarang lebih gak karu-karuan. Gak tertib. Itulah yang harus kita tertibkan,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Selasa, 28 Februari 2023.
Menurutnya, reformasi yang terjadi saat ini sudah bagus. Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia bebas memilih dan dipilih. Tidak seperti dulu. Demokrasi sangat tertutup. ”Dulu jika ada yang mencalonkan presiden, sudah dianggap gila lho,” terangnya.
Mahfud menceritakan, pada 1976, Sawito Kartowibowo sempat menghebohkan tanah air. Sebab, ia meminta agar kekuasaan Soeharto diserahkan ke Bung Hatta. Alasannya, itu untuk menyelamatkan Indonesia.
Pernyataan tersebut lantas mengantarkan menantu mantan Kepala Polri Pertama Jenderal Polisi (purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo itu ke dalam penjara. Ia dihukum tujuh tahun. Turun satu tahun dari yang sebelumnya, delapan tahun penjara.
”Di era 90-an juga ada tokoh perempuan yang ingin jadi presiden. Dia juga ditangkap. Gila katanya. Padahal, orangnya tidak gila. Sampai sekarang masih ada. Kalau sekarang mencalonkan, siapa saja boleh. Itu sebuah kemajuan. Tetapi, harus tertib,” terangnya.
Namun, kini harus ada perubahan lagi untuk menuju demokrasi yang lebih baik. Yakni, revolusi mental. Sebab, mental masyarakat Indonesia sudah rusak di masa lalu. Revolusi mental yang dimaksud adalah cara memandang, menganalisis, memahami, dan menentukan langkah. Dasar dari revolusi mental itu ada tiga hal. Yakni, integritas, etos kerja, dan gotong royong.
Di sisi lain, kebersatuan Indonesia itu adalah modal terpenting. Saat ini kondisi kebersatuan itu sangat terancam. Terutama oleh penyebaran berita bohong (hoaks). Juga, adanya gangguan ideologi Indonesia. ”Masih banyak yang mempertanyakan kebenaran NKRI,” ucapnya.
Pesta demokrasi akan kembali dilakukan pada 2024. Ia menilai akan berpotensi terjadi perpecahan. Karena itu, ia mengajak lapisan masyarakat untuk berdiskusi. Untuk mewujudkan revolusi mental di atas.
Media massa pun turut berperan besar. Ia pun meminta agar tidak ada lagi media yang memikirkan clickbait. Isi berita tidak sesuai dengan judul. Bahkan, berita tersebut dipelintir. ”Itu berbahaya untuk pemilu yang akan datang,” tegasnya.
Di Indonesia, menurut pria kelahiran Sampang itu, hanya ada seribu media konvensional yang ketika ada kesalahan, redaksi media tersebut mau bertanggung jawab. Sebaliknya, jumlah media yang tidak jelas sekitar 800 ribu.
”Dengan kondisi itu, kita bisa rusak atau pecah dengan adanya media seperti itu. Tidak bisa bertanggung jawab. Ada tuannya. Tapi, tidak jelas. Karena itu, cangkrukan ini dilaksanakan. Ini pertama kali kita adakan di Surabaya. Agar 2024 nanti tetap tertib,” tegasnya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menegaskan, sinergisitas dan upaya telah dilakukan Pemprov Jatim. Hal itu diikuti dengan tingkat indeks demokrasi Indonesia (IDI) di provinsi tersebut yang secara persentase dinilai baik. ”Berdasarkan IDI, harmonious partnership di Jatim mencapai 81,31 persen,” ucapnyi.
Kegiatan itu, menurut Khofifah, juga akan makin menumbuhkan rasa persaudaraan dan kesatuan berbangsa serta bernegara. Pra conditioning seperti itu akan sangat membantu meeting of mind di antara seluruh stakeholder Jawa Timur.
Sehingga bisa bersama menjaga suasana aman tertib damai dan demokratis. ”Ini format yang bisa menyemai damai, menyemai kasih dalam mewujudkan tertib pemilu serentak 2024 mendatang,” ungkapnyi.