Borong Jabatan

Kamis 16-03-2023,04:20 WIB
Reporter : Taufik Lamade

BEGITU Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut dirinyi merangkap 30 jabatan, saya jadi teringat Menteri Luhut B. Pandjaitan. 

Luhut, yang tugas pokoknya menteri koordinator maritim dan investasi,  kerap dijuluki menteri segala urusan. Sebab, ia juga punya seabrek jabatan lain. Selain mereka, Menko Polhukam Mahfud MD juga punya sederet jabatan tambahan.

Tentu yang menjadi pertanyaan, apakah deretan jabatan tambahan itu relevan dengan jabatan utamanya? Efektif tidak? Apakah tidak ada orang lain yang layak menjabat? Juga, apakah jabatan itu mempertebal dompet?

Beberapa jabatan Sri Mulyani yang lain adalah ketua KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) dan wakil ketua SKK Migas. Juga, menjabat ketua atau anggota di berbagai lembaga seperti Dewan Energi Nasional, BRIN, KUR, LPS, dan OJK. Pun, sempat di Masyarakat Ekonomi Syariah.

Begitu publik terperangah mendengar pengakuan borong jabatan itu, Staf Khusus Kemenkeu Yustinus Prastowo langsung menjelaskan bahwa jabatan tambahan itu bersifat ex officio. Artinya, otomatis dijabat karena Sri Mulyani sebagai menteri keuangan yang juga bendahara negara. Siapa pun menterinya akan juga merangkap itu.

Alasan ex officio itu juga menteri lain rangkap jabatan. Misalnya, Mahfud MD yang merangkap ketua Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional). Anggota Kompolnas ada juga menteri dalam negeri. Mahfud juga ketua Tim Pengarah Tindak Pidana Pencucian Uang.

Nah, kembali muncul pertanyaan, masalah efektif tidak atau relevan tidak? Seperti menko polhukam secara hierarki adalah koordinator kapolri sehingga bisa saja langsung mengarahkan dan memberikan rekomendasi kepada kapolri. Sebagai pembantu presiden, apalagi menko, tiap saat bisa memberikan masukan untuk pembenahan dan strategi kepolisian. Sehingga untuk menjalani dua tugas itu dalam membenahi Polri, dengan jabatan menko, Mahfud seharusnya sudah bisa. Tidak perlu menjadi ketua Kompolnas.

Seharusnya Kompolnas diberikan kepada tokoh masayarkat yang independen dan kompeten. Tujuannya, memunculkan solusi independen sekaligus second opinion. Itu akan lebih baik bagi pemerintah.

Begitu juga Sri Mulyani di Dewan Energi Nasional. Di sana tak hanya menkeu, ada juga menteri ESDM, menteri lingkungan hidup dan kehutanan, mendikbudristek, serta menteri Bappenas. Sekali lagi, di lembaga itu seharusnya semua anggotanya adalah tokoh independen. Dengan demikian, presiden sebagai pengambil keputusan mendapat rekomendasi yang independen.

Hanya, kalau sudah menyangkut ex officio yang diatur UU, kembali juga ke DPR yang harus cerdas membuat produk tersebut.

Dari seabrek jabatan itu, ada yang bersifat penugasan dan penunjukan (non ex officio). Seperti merangkap menteri ad interim. Ditunjuk rangkap jabatan mengganti menteri lain. Seperti saat ini, Menko PMK Muhadjir Effendy yang merangkap menpora setelah Zainudin Amali mundur. Amali lebih suka menjadi wakil ketua PSSI.

Luhut juga pernah rangkap jabatan sebagai menteri perhubungan. Karena menterinya berhalangan.

Ada juga penugasan misi khusus. Untuk itu, yang paling sering disorot ialah Menteri Luhut. Orang dekat Jokowi tersebut juga menjabat ketua Tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia. Juga, ketua Tim Pengarah Penyelamatan Danau.

Saat Covid, Luhut pun jadi ketua tim penanganan. Karena seabrek jabatannya itu, di berbagai media ia disebut menteri segala urusan. Ada tugas yang relevan (penyelamatan danau). Ada yang kurang relevan (karena ada pejabat lain yang lebih relevan), seperti ketua Tim Bangga Buatan Indonesia (seharusnya dijabat menko perekonomian atau menteri perindustrian). Penanganan Covid seharusnya menkes.

Rangkap jabatan menteri sebagai ketum partai politik juga sering dikritik. Awalnya Presiden Jokowi pernah mengharamkannya. Menko Polhukam Wiranto saat itu terpaksa melepas jabatan ketum Partai Hanura.

Kategori :