Ber-City Branding

Selasa 28-03-2023,04:30 WIB
Reporter : Arif Afandi

CITY BRANDING kota kembali menjadi perbincangan. Setelah Presiden Joko Widodo meminta semua kota dan daerah memikirkan city branding-nya dengan matang. Dengan serius menyusun masterplannya.

Dengan gaya agak berseloroh, presiden yang pernah menjadi wali kota Solo dan gubernur DKI itu mengkritik city branding yang ada. Ia melihat berbagai daerah memakai city branding yang kurang lebih sama.

”Jangan semua kota/kabupaten sama semua namanya, memiliki brand yang hampir mirip. Ada kota beriman, ada beriber, ada ber apa lagi berseri, ber-ber-ber semuanya,” katanya.

Merespons kritik presiden itu, sejumlah kota dan daerah langsung menciptakan city branding baru. Payakumbuh langsung bikin City of Randang, Kediri dengan Harmoni Kediri, dan Malang dengan Beautiful Malang. 

Pokoknya, setelah ada sentilan presiden, para kepala daerah berlomba-lomba menginisiasi city branding baru. Kalau tidak, mereka berusaha memperkuat city branding yang telah ada dengan berbagai kegiatan. Jepara, misalnya, bikin pameran ukiran. Magelang bikin hastag di medsosnya.

City branding memang sangat penting bagi sebuah kota. Ia menjadi kebijakan komunikasi publik untuk membangun image daerahnya. Rasanya lebih penting membangun city branding ketimbang hanya membangun personal branding kepala daerahnya.

Memang tidak semua daerah punya kesadaran untuk itu. Bahkan, daerah yang sudah menjadi kota besar atau ibu kota provinsi. Saya punya pengalaman unik ketika diminta Wali Kota Surabaya (2003–2010) Bambang D.H. untuk memikirkan pembangunan Kota Surabaya.

Saat itu saya berdiskusi dengan banyak pelaku pariwisata kota. Juga, dengan kalangan akademisi. Menggali keunikan kota ini. Mengeksplorasi aset budaya, sejarah, dan potensi kota. Sebagai bahan untuk merumuskan strategi membangun image baru Kota Surabaya.

Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder penting itu lantas saya bawa dalam rapat dengan para kepala dinas terkait. Khusus membahas rencana membangun city branding. Setiap kepala dinas saya minta mengusulkan nama.

Spontan, banyak usulan branding normatif seperti yang dikeluhkan Presiden Jokowi. Misalnya, diusulkan menggunakan branding Surabaya Beriman, Surabaya Berseri, Surabaya Hebat, dan seterusnya. Itu terjadi pada 2005.

Setelah semua menyampaikan usul dan pendapat, saya pun mengusulkan city branding hasil diskusi dengan para stakeholder tadi. Saya mengusulkan Sparkling Surabaya sebagai branding baru Kota Surabaya. Kalau diartikan kurang lebih Surabaya Berkilau.

Apa reaksi peserta rapat? Seseorang langsung menolak ide itu. Alasannya yang unik. ”Kalau pakai branding kota itu, nanti banyak warga tidak ngerti. Tukang becak tidak paham,” katanya bersemangat. 

Setelah semua memberikan pendapat, saya pun menjelaskan. Saya bilang, city branding itu bukan untuk tukang becak. City branding tersebut kita tujukan untuk masyarakat yang lebih luas. Masyarakat luar Kota Surabaya. Juga, masyarakat global.

Dengan mengenal city branding dan terbangun image baru, mereka itu diharapkan datang ke Surabaya. Lalu, di kota ini mereka yang dari luar kota dan luar negeri itu naik becak dan belanja kerajinan yang dibikin warga Kota Surabaya. 

Setelah mendapatkan penjelasan itu, mereka pun setuju. Atau tidak berani membantah lagi. Yang pasti, Sparkling Surabaya pernah berkilau di Surabaya. Logonya terpajang di mana-mana. Di berbagai sudut mal dan kota. Bahkan, sampai Malaysia dan Singapura.

Kategori :