Memang bukan hanya branding yang mengangkat image. Harus diikuti berbagai kegiatan. Juga, destinasi yang menarik bagi orang untuk datang. Misalnya, shopping, golf, wisata alam, kuliner, atau bahkan destinasi wisata religi.
City branding melibatkan pemasaran, promosi aset, citra, reputasi kota untuk menarik wisatawan, investor, bisnis, dan penduduk baru. Ia juga melibatkan pengembangan narasi yang menyoroti keunikan kota, sejarah, budaya, potensi ekonomi, dan kualitas hidup.
Di Jawa Timur ada dua daerah yang berhasil membangun city branding: Kota Batu dan Banyuwangi. The Shining Batu berhasil mengangkat wilayahnya menjadi destinasi utama untuk wisata alam. Juga, mengembangkan themepark secara konsisten.
Banyuwangi selama satu dekade juga berhasil mengangkat kabupaten ujung timur Pulau Jawa itu menjadi destinasi yang populer dan ngangeni. Banyuwangi tidak hanya mengenalkan The Sunrise of Jawa, tetapi juga menciptakan kegiatan berkelanjutan dan membangun infrastruktur.
Terkini, kota yang berhasil membangun city branding adalah Solo. Ini bukan sekadar karena wali kotanya anak presiden, tapi karena mereka mempunyai visi tentang kotanya. Aset-aset sejarah dan potensi kota dibenahi. Itu menjadi destinasi baru yang menarik orang untuk datang. Juga, konsisten menggelar kegiatan yang mendatangkan banyak orang dari luar kota.
Rupanya visi kepala daerah dan kemampuannya menggali potensi kotanya menjadi faktor penentu keberhasilan city branding. Ia bukan hanya soal kata yang menempel di nama kota. Tapi, soal bagaimana merumuskan visi dan menurunkannya menjadi berbagai aksi dan destinasi.
City branding bukan hanya membuat label. Tapi, bagaimana label marketing itu menjadi spirit seluruh warganya. Jika itu berhasil, city branding setidaknya dipastikan dapat meningkatkan pariwisata hingga 20 persen. Itu menurut laporan Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO). (*)