Laba Jumbo Perbankan

Rabu 29-03-2023,12:58 WIB
Reporter : Imron Mawardi*

PEMULIHAN ekonomi pascapandemi Covid-19 benar-benar dinikmati sektor perbankan. Lihat saja laporan keuangan bank-bank tahun 2022. Labanya melonjak luar biasa. Beberapa bank mencatatkan laba tertinggi sepanjang sejarah. Jauh melampaui laba sebelum pandemi.

Bank Rakyat Indonesia (BRI), misalnya. Tahun 2022, bank pelat merah itu meraup laba Rp 51,4 triliun. Naik 67,15% jika dibandingkan dengan 2021. Itu juga menjadi laba terbesar BRI sepanjang sejarah sejak berdiri tahun 1895. Bank Mandiri ada di urutan kedua dengan laba bersih Rp 41,17 triliun. Realisasi tersebut meningkat 46,9% dari tahun 2021. BCA ada di urutan ketiga dengan laba bersih Rp 40,75 triliun. Tumbuh 29,6% dari laba bersih 2021.  

Dari sisi pertumbuhan, BNI mencatatkan kinerja laba tertinggi. Laba bersihnya tumbuh 68% menjadi Rp 18,31 triliun. Dengan pembukuan laba sebesar itu, bank BUMN tersebut menjadi bank yang membukukan laba terbesar keempat sepanjang 2022. Itu juga merupakan laba BNI terbesar sepanjang sejarah sejak 1946. Itu juga jauh lebih tinggi daripada laba sebelum pandemi. Tahun 2019, laba  bersih BNI hanya Rp 15,38 triliun dan turun menjadi Rp 3 triliun tahun 2020. 

Yang menarik, bank dengan laba-laba jumbo itu adalah bank penyalur kredit usaha rakyat (KUR). BRI, misalnya, adalah penyalur KUR terbesar. Sejak digulirkan pda 2014, BRI telah menyalurkan KUR Rp 899,07 triliun dari total KUR Rp 1.312,07 triliun.  

Penyalur KUR terbesar berikutnya adalah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Bank Mandiri telah menyalurkan KUR Rp 172,5 triliun, BNI Rp 141,4 triliun, dan BSI Rp 23 triliun. Menurut data Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) Kementerian Keuangan, sejak 2014 sampai 26 Desember 2022, pemerintah telah menyalurkan KUR dengan total nilai akad Rp 1.312,59 triliun.

 

NIM Berlebihan

Tingginya laba perbankan tahun 2022 luar biasa di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi. Apalagi di tengah ancaman resesi ekonomi global yang dikhawatirkan banyak pihak. Juga, di tengah berbagai kesulitan ekonomi dunia akibat tingginya inflasi yang menyeret kenaikan tingkat bunga di berbagai negara.

Di Amerika Serikat, inflasi sempat menembus angka 8 persen dan membuat The Federal Reserve menaikkan tingkat bunga terus-menerus untuk menekan inflasi. Pekan lalu The Fed menaikkan lagi tingkat bunga ke level 4,75–5%. Kenaikan tingkat bunga 0,25 bps pekan lalu adalah yang kesembilan berturut-turut. Itu adalah tingkat bunga yang sangat tinggi lantaran tingkat bunga di awal 2022 baru ada di level 0,25. 

Di sisi lain, laba jumbo perbankan selama 2022 juga ”memprihatinkan”. Sebab, sebagai lembaga intermediasi, laba berlebihan itu menyiratkan ketidak-adilan. Menunjukkan bank sebagai perantara mengambil untung terlalu besar. Akibatnya, spread antara cost of fund dan lending rate terlampau lebar. Antara bunga simpanan dan bunga kredit. Jadinya, net interest margin (NIM) bank sangat tinggi.

Lihat saja NIM BRI. Meski turun 9 bps, angkanya masih 6,8%. Suatu angka yang luar biasa tinggi. Jauh lebih tinggi daripada rata-rata NIM perbankan yang 4,68%. Sederhananya, dengan NIM 6,8%, bunga kredit sangat mahal. Jika rata-rata biaya dana 4%, misalnya, paling rendah, bunga kredit ada di kisaran 11%. 

Betapa tingginya NIM BRI, misalnya, bisa dibandingkan dengan NIM perbankan di ASEAN. Lihat Malaysia, misalnya, NIM rata-rata mereka hanya 1,96% atau kurang dari sepertiga BRI. Rata-rata NIM bank di Singapura lebih rendah lagi, 1,21%. Thailand, Vietnam, dan Filipina memiliki NIM relatif lebih tinggi. Namun, masih jauh lebih rendah, yaitu 2,48%, 3,35%, dan 3,56%. 

Itu berarti, bisnis perbankan di Indonesia sangat menjanjikan bila dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN. Memutar uang di perbankan Indonesia menghasilkan laba sekitar tiga kali lebih besar daripada di Singapura dan dua kali daripada di Malaysia. 

Tingginya NIM itu di satu sisi memang menguntungkan perbankan. Sebaliknya, itu tidak baik bagi perekonomian. Sebab, NIM yang tinggi tersebut menunjukkan spread yang diambil perbankan sangat lebar. Bunga kredit menjadi sangat tinggi. 

Spread antara bunga simpanan dan bunga pinjaman dipengaruhi beberapa hal. Yaitu, cost of loanable fund, overhead cost,  premi risiko, dan margin. NIM yang tinggi menunjukkan bahwa dasar penetapan SBDK over-estimated. Bank mengestimasi biaya terlampau tinggi, jauh di atas realisasinya, sehingga memperoleh keuntungan terlalu besar.

Kategori :