Series Jejak Naga Utara Jawa (52) : Sebaris Harapan dalam Secarik Batik

Rabu 05-04-2023,13:19 WIB
Reporter : Tim Harian Disway *)
Editor : Doan Widhiandono

Motif warisan mendiang Sigit Witjaksono, maestro batik asal Lasem, memang khas. Berkesan rumit. Karya warna. Dan yang paling unik, ada sebaris harapan yang tersemat dalam lembaran batiknya. Batik sinografi.

 
RINI Safitri mulai meraih tongkat estafet dari Sigit Witjaksono pada 2017. Dan perempuan kelahiran 14 Oktober 1974 tersebut tidak sekadar mewarisi bisnis batik. Lebih dalam lagi, dia melanjutkan filosofi yang ditanamkan Sigit pada lembaran kain batik produksi Sekar Kencana.

Salah satu filosofi besar yang muncul pada batik mereka adalah akulturasi. ’’Apalagi, mama dan papa itu kan pencampuran dua etnis,’’ ucap Rini, anak ketiga dari empat bersaudara tersebut.

Ya, seperti kami ceritakan, Sigit yang Tionghoa itu menikahi Marpat Rochani yang Jawa tulen. Keturunan wedana, pemimpin wilayah administratif di bawah kabupaten dan di atas kecamatan. Pernikahan mereka pada 1963 bahkan dicatatkan di Catatan Sipil. Sebuah langkah sangat progresif pada zaman itu.
 
BACA JUGA : Akulturasi dalam Selembar Batik

Akulturasi itulah yang juga mewujud dalam karya-karya batik Sigit. ’’Ini satu-satunya batik di Lasem yang sinografi,’’ ucap Rini tatkala berbincang dengan tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa, Rabu, 18 Januari 2023.

Dalam dunia batik, sinografi merujuk pada pemakaian aksara Han (hanzi) dalam motif batik. Huruf yang dipakai tidak random. Tetapi mewujud menjadi satu kesatuan makna. Membentuk kalimat filosofis—kata-kata mutiara—dalam tradisi Tionghoa.

Dan itu, hanya Sigit yang punya. Nama Sigit sampai dimasukkan dalam buku Batikpedia; Kumpulan Istilah Penting dalam Dunia Batik yang terbit pada 2020. Di buku karangan Ivone de Carlo itu, nama Sigit ada di halaman 109. Keterangannya: perajin batik keturunan Tionghoa yang memasukkan seni sinografi ke dalam batik Lasem.

Sedangkan lema (entry) sinografi ada di halaman 110. Penjelasannya: kalimat-kalimat mutiara atau pepatah arif Tiongkok.

Di areal terbuka belakang rumah Rini, kain-kain batik sinografi itu tersimpan di sebuah lemari berpintu kaca. Dilipat dan dikemas rapi. Siap dipasarkan.

Pada batik sinografi, aksara Tiongkok itu tidak berdiri sendiri. Ia tetap dipadukan dengan motif-motif khas Lasem lainnya. Misalnya, watu kricak, titik-titik kecil yang sedikit lebih besar daripada beras. ’’Ini, katanya, mengingatkan orang pada Jalan Daendels,’’ ujar Rini.
 

Retna Christa (kiri) dan Rini Safitri mengamati motif batik produksi Sekar Kencana, Lasem.-Doan Widhiandono-Harian Disway-

Lasem, yang terletak di pantai utara Jawa itu, memang dilintasi Jalan Raya Daendels. Jalan itu membentang dari Anyer ke Panarukan. Panjangnya seribu kilometer lebih. Saat pembangunannya pada 1808-1811, wilayah pantura penuh pecahan batu untuk memadatkan jalan. Itulah watu kricak yang teksturnya lantas diabadikan dalam batik khas Lasem tersebut.

Motif lain adalah sekar jagad. Ini adalah motif floral yang juga muncul pada batik khas Solo dan Jogja. Sekar jagad dimaknai sebagai bentuk keindahan paripurna. Menghiasi seluruh alam, membentuk kembang-kembang yang cantik.

Atau motif gunung ringgit. Bentuknya seperti sebaran uang koin yang bertumpuk-tumpuk. Membentuk motif separo lingkaran yang saling tumpang tindih. Ini melambangkan harapan agar pemakainya bisa menimbun ringgit (uang kecil) menjadi gunung. Simbol keteguhan mencari rezeki dan mata pencaharian.

Nah, huruf-huruf Tiongkoknya menyembul di sela-sela itu. Dibingkai bulat sehingga tetap terlihat menonjol. Ia bisa dipisahkan dari keseluruhan motif batik tetapi bisa juga dipandang jadi satu kesatuan.

Sinografi dalam batik produksi Sekar Kencana tidak dibiarkan menjadi aksen semata. Ia tetap dimaknai secara utuh sebagai sebuah kalimat. Bahkan, kalimat itu diterangkan dalam secarik kertas kecil yang menyertai kemasan batik.

Pada salah satu kain, misalnya, ada keterangan yang berbunyi usianya setinggi gunung selatan, rezekinya seluas laut timur. ’’Jadi, siapa yang memakai kain ini bisa dapat sugestinya,’’ kata Rini. Ya, mengenakan secarik batik sinografi Lasem berarti mengenakan sebaris harapan—atau doa—sebagaimana yang terkandung dalam kalimat pepatah itu.

Kalimat tersebut tentu berasal dari banyak tradisi. Baik tradisi kerakyatan Tionghoa atau agama Konghucu yang dulu dianut Sigit hingga 2018.

Lalu, apakah yang para pembatik memang bisa baca-tulis bahasa Mandarin. ’’Ya enggak. Saya juga enggak. Tapi, mereka kan sudah hafal bentuk-bentuk hurufnya,’’ kata Rini.
 

Motif naga sedang disketsa oleh para perajin batik di rumah produksi batik Sekar Kencana, Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Perpaduan budaya Tionghoa dan Jawa juga terlihat pada kerumitan desain batik Sekar Kencana. Misalnya, muncul motif-motif binatang mitologis Tionghoa. Ada kilin, naga, atau burung feng huang (phoenix). Kemunculan mereka juga tetap dipadukan dengan motif sulur-suluran atau geometris berulang khas Jawa. Seperti bentuk dasar motif parang atau kawung.

Keteguhan menjaga tradisi itulah yang membuat batik tulis Sekar Kencana tetap punya peminat setia. Itu terasa saat Rini berpameran dalam Open House Tjap Go Meh Harian Disway, 8 Februari 2023. Ada saja pengunjung yang meminati—lantas meminang—batik yang dibawa Rini. ’’Alhamdulillah,’’ ucap Rini. Dia memang pulang ke Lasem dengan tetap membawa sejumlah besar kain batik. Tetapi, beberapa lembaran batik yang laku sudah cukup untuk membuatnya tersenyum. Lebar… (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 
SERI BERIKUTNYA : Setia Membatik Sampai Tua
Kategori :