Series Jejak Naga Utara Jawa (51) : Akulturasi dalam Selembar Batik

Series Jejak Naga Utara Jawa (51) : Akulturasi dalam Selembar Batik

Rini Safitri (kanan) dan Retna Christa berbincang tentang motif batik Sekar Kencana di Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Lasem adalah kota batik. Di kota mungil bekas ibu kota Kabupaten Rembang itu, banyak sekali hunian yang sekaligus berfungsi sebagai rumah produksi batik. Salah satu yang legendaris adalah batik Sekar Kencana. Buatan mendiang Sigit Witjaksono. 

JIKA disandingkan dengan batik-batik Jawa Tengah pada umumnya, batik produksi Lasem memiliki kekhasan. Ia punya warna spesifik. Yakni getih pitik. Atau darah ayam. Apakah pewarnaannya menggunakan darah ayam?  

Bukan begitu. Getih pitik adalah turunan warna merah yang berbeda dengan spektrum merah pada umumnya. Tone-nya sedikit lebih gelap daripada merah darah. Persis darah ayam. Konon, warna merah yang seperti itu hanya bisa keluar kalau dibuat di Lasem. Ini berhubungan dengan kualitas air di kota tersebut.

’’Warna kan dihasilkan dari campuran bahan-bahan kimia. Kalau dicampur dengan air, maka hasil reaksinya akan berbeda-beda. Sesuai kualitas airnya,’’ tutur Baskoro Pop, co-founder komunitas Kesengsem Lasem, yang menemani kami berjalan-jalan di Lasem pada 19 Januari 2023 lalu. ’’Nah, warna merah yang dihasilkan di Lasem itu seperti getih pitik,’’ imbuhnya. 
 

Pengaruh Tionghoa yang sangat kuat dapat kita lihat dalam produk-produk batik Lasem. Sebab, menurut cerita, yang mengajarkan warga Lasem membuat batik juga orang Tionghoa. Yakni Na Li Ni dan Bi Nang Un. Suami istri awak kapal Laksamana Cheng Ho. Jadi, batik sudah berkembang di kota tersebut mulai awal abad ke-15. 

Produksi batik Lasem mencapai masa keemasan ketika perdagangan dimonopoli warga Tionghoa mulai 1860-an. Popularitasnya semakin meroket ketika nyonya-nyonya bangsawan di Lasem ikut terjun mendalami seni batik. 
 

Stan batik Sekar Kencana didatangi oleh Napsiah Dahlan Iskan, istri founder Harian Disway Dahlan Iskan, saat acara Open House Tjap Go Meh, 8 Februari 2023.-Boy Slamet-Harian Disway-

Hingga kini, hampir semua produksi batik Lasem merupakan milik pengusaha Tionghoa. Kebanyakan juga mewarisinya secara turun temurun. Salah satunya adalah batik Sekar Kencana. Milik maestro batik Lasem, Sigit Witjaksono. Sigit sudah tiada. Meninggal pada Juni 2021 lalu. Namun, usahanya diteruskan oleh putrinya, Rini Safitri. 

Rumah Rini-lah yang kami tuju siang itu. Di bawah matahari Lasem yang ramah, Baskoro membawa kami memasuki jalan Babagan gang IV, Desa Babagan. Rumah itu tersembunyi di balik pagar tembok tinggi. Yang di bagian tengahnya terdapat pintu kayu ganda bercat cokelat. Dinaungi paifang—gerbang khas Tiongkok—mungil. 
 

Rini menyambut kami di teras belakang rumah geladak bercat kuning tersebut. Terdapat set kursi tamu dan beberapa lemari pajang. Halaman belakang rumah itu full digunakan untuk produksi batik. 

Di salah satu sudut, tampak beberapa ibu memanaskan tungku dan mencairkan lilin di atas wajan besar. Di bagian lain, beberapa pemuda melakukan proses celup—memasukkan kain yang sudah dipola ke dalam cairan warna. 

Di tempat lain, terlihat para pengrajin sedang melukisi kain dengan lilin. Mereka duduk melingkar, masing-masing menghadapi selembar kain. Jemari tua mereka begitu lincah menari di atas mori yang sudah diberi pola. Sedangkan bagian halaman yang tak tertutup atap digunakan untuk menjemur batik. 
 

Batik lasem produksi Sekar Kencana ketika diperagakan dalam acara Open House Tjap Go Meh di kantor Harian Disway, 8 Februari 2023.-Boy Slamet-Harian Disway-

’’Saya belum lama, kok, meneruskan usaha batik ini. Baru pegang full setelah ayah meninggal,’’ tutur Rini Safitri. Dia bahkan baru kembali ke Lasem sekitar lima tahun lalu. Waktu sang ayah jatuh sakit. Sebelumnya, dia dan suami menetap di Surabaya. ’’Waktu itu ayah bilang, ’Wis, pokoke Rini kudu mulih’,’’ kenang Rini, menirukan kalimat sang ayah.

Batik Sigit Witjaksono yang istimewa tak lepas dari karakternya yang open minded. Sigit adalah pelopor nikah campur di Lasem. Ia pemuda Tionghoa pertama yang berani memperistri gadis Jawa, pada 1963. Demi akulturasi. 

’’Soal agama, ayah juga sangat open. Dulu, beliau Konghuchu. Mama Islam. Kami, anak-anaknya, disekolahkan di sekolah Katolik. Karena dulu sekolah-sekolah yang bagus itu rata-rata punya Katolik,’’ cerita Rini. ’’Nah, setelah menikah, kami bebas memilih agama apa saja. Saya, kebetulan, menjadi mualaf,’’ tutur perempuan berkedurung itu. 

Dua dekade lebih Rini jadi arek Suroboyo. Dia mengira akan selamanya menghabiskan hidup di Kota Pahlawan. Hingga pada 2017, sang ayah memanggil. Dia diminta melanjutkan usaha batik Sekar Kencana. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: