Series Jejak Naga Utara Jawa (40) : Rumah Geladak yang Hangat
Dinding papan seperti di Museum Nyah Lasem ini adalah salah satu ciri rumah geladak Jawa. -Doan Widhiandono-Harian Disway-
Arsitektur rumah juga bukan sesuatu yang eksklusif. Gaya tertentu hanya boleh dipakai etnis tertentu, misalnya. Toh, di sekitar kita banyak rumah yang sangat Romawi klasik tetapi pemiliknya Jawa banget, bukan…?
Inklusivitas arsitektur itulah yang tampak pada rumah-rumah geladak Jawa di Lasem. Adalah Baskoro Pop, co-founder Rembang Heritage Society yang mengantar kami menengok rumah geladak (gladhak) Jawa tersebut.
Salah satu yang tidak bisa dilepaskan dari daftar kunjungan adalah Museum Nyah Lasem di Karangturi Gang V. Gaya rumah itu memang mirip dengan hunian bergaya Tionghoa yang kami temui di banyak tempat. Bangunannya besar. Melebar. Atap pada bagian teras disokong oleh tiang-tiang langsung. Pintunya ada di tengah. Memberikan kesan simetris.
Nah, yang membuatnya khas adalah dindingnya. Bukan tembok apalagi beton. ’’Namanya gladhak, ya. Jadi, dindingnya ya kayu,’’ kata Pop. Itu jelas berbeda dengan rumah Tionghoa lain yang tampak lebih mentereng dari sisi bahan dindingnya. Misalnya—sebut saja—Rumah Merah Heritage atau Rumah Oei.
Pop memang menjanjikan mengantar tim ekspedisi ini untuk melihat rumah-rumah gladhak tersebut sepanjang hari, Rabu, 18 Januari 2023. Maka, meskipun tujuan peliputan ini tidak melulu arsitektur, kebetulan rumah-rumah narasumber yang kami datangi memang punya ciri khas kuat.
Misalnya, kediaman mendiang Sigit Witjaksono, pengusaha batik Sekar Kencana, di Desa Babagan, Lasem. Rumah itu juga gladhak Jawa. ’’Tapi, kalau ini sudah kelihatan dipugar. Ada yang sudah ditembok,’’ ucap Pop sembari mengantar kami ke belakang rumah, ke tempat produksi batik tersebut.
Rini Safitri, putri Sigit yang kini meneruskan usaha batik tersebut, mengatakan bahwa rumahnya tidak banyak berubah. ’’Mulai saya kecil ya begini. Dulu lari-lari di sini,’’ katanya teras depan rumah.
Teras itu luas. Ubinnya kelabu. Klasik. Secara umum, teras itu terlihat sangat simetris. Pintu jangkung di tengah diapit oleh meja rias dengan kaca tinggi. Diapit pula oleh jendela berterali kayu. Di bawah jendela ada daybed lawas.
Kalau terasnya berlantai ubin, bagian dalam memakai lantai kayu. Bisa dipastikan, ketika Rini kecil berlarian dulu, suara gedebugan-nya pasti terdengar. Terlebih, lantai kayu itu tidak langsung menempel di tanah.
Ya, ciri khas rumah gladhak itu adalah modelnya yang seperti rumah panggung. Di bawah ada ruangan yang kira-kira setinggi orang duduk. Kata Rini, di zaman Jepang dulu, ruang bawah tanah itu biasa dipakai menyembunyikan anak-anak gadis. Agar tidak diculik Nippon. Yang bisa-bisa dijadikan jugun ianfu atau pelacur untuk tentara.
Rini Safitri menunjukkan teras depan rumahnya yang masih asli. Lantai bagian dalam rumah itu dari kayu.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
Ruang bawah tanah itu juga ada di Museum Nyah Lasem. Yang ini fungsinya tidak hanya untuk persembunyian. Tetapi juga tempat rehat para pekerja batik.
Salah satu yang masih setia dengan rumah gladhak adalah Waras, pemilik usaha yopia, kue khas Lasem, di Karangturi. Sebagian besar dinding rumahnya masih dari bilah-bilah papan. Di satu-dua sisi terlihat sudah lapuk. Jika sudah tidak bisa diselamatkan, bagian yang lapuk itu diambil lalu ditambal dengan grajen atau serbuk hasil gergajian.
SERI BERIKUTNYA : Piring-Piring Putri Ong Tien
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: