Series Jejak Naga Utara Jawa (39) : Sejarah Kelenteng pada Mural

Series Jejak Naga Utara Jawa (39) : Sejarah Kelenteng pada Mural

Herwanto Siswadi (kiri) menerangkan altar utama Vihara Dharma Rakhita, Cirebon.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Harus diakui, kawasan Pecinan Jamblang pernah sangat hidup. Saat rumah-rumah di sekelilingnya masih banyak yang berpenghuni. Kini, yang tersisa adalah romantisme.
 
USIA Vihara Dharma Rakhita (Kelenteng Jamblang) sudah membentang begitu panjang. Adalah Slamet, penjaga kelenteng, yang dengan bersemangat menceritakan kisah itu kepada tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa.

Ia menyebut bahwa balok utama penyangga atap kelenteng berasal dari kayu yang sama dengan bubungan Masjid Sang Cipta Rasa, Cirebon. Sementara, masjid itu dibangun pada 1480-an. Artinya, usia kelenteng itu ya kurang lebih sama sepuhnya dengan masjid tersebut.

Namun, catatan resmi dari pengurus kelenteng tidak secara spesifik menyebutkan tahun pendirian kelenteng. Catatan tersebut mengakui bahwa karena usia kelenteng sudah begitu panjang, tidak pernah ada jejak tertulis tentang pembangunan tempat ibadah tersebut.

Catatan baru tersusun rapi sejak 1785 ketika kelenteng itu hendak direnovasi. Sejak itu, sejarah kelenteng—beserta umatnya—bisa dilacak.
 

Tetapi, tentu tidak semua wisatawan akan tekun mempelajari catatan sejarah itu melalui buku. Nah, jangan khawatir. Di Desa Wisata Jamblang, sejarah itu sudah tersaji secara unik melalui mural. Bukan pada dinding kelenteng, melainkan pada tembok bangunan tua di depannya.

’’Yang membuat juga tim Universitas Maranatha, Bandung,’’ kata Herwanto Siswadi, ketua pengurus Yayasan Dharma Rakhita.

Mural tersebut digambar dalam bentuk kubisme-ekspresionis. Gradasi warnanya tegas. Tidak berupa arsiran yang membentuk efek tiga dimensi.  Momentum penting dimunculkan di situ. Misalnya, paceklik pada 1845. Atau wabah kolera yang menjangkiti warga pada 1859. Kolera itu akhirnya lenyap setelah Toapekong kelenteng diarak mengelilingi Jamblang.
 

Mural di kawasan Pecinan Jamblang yang menunjukkan sejarah kelenteng dan peristiwa yang dialami warga di kawasan tersebut.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Herwanto tak menampik bahwa ia pun berharap Kawasan Pecinan Jamblang akan bisa kembali ramai. Agar warga juga bisa mendulang pendapatan dari bisnis turisme. ’’Tapi, ramai ya kalau ada festival saja. Kalau tidak ada, sepi,’’ kata lelaki 68 tahun tersebut.

Sebagian besar warga Pecinan Jamblang memang terbilang sepuh. Yang muda-muda merantau. Mencari kehidupan yang lebih baik. Di tempat yang lebih ramai. Tiga anak Herwanto, misalnya. Semuanya tak lagi tinggal di kawasan Pecinan Jamblang. Dua orang yang merantau ke Bandung. Seorang lagi tinggal di tempat lain di Kabupaten Cirebon. Kini, ia mendiami rumahnya dengan istri dan keluarganya lain.

Upaya menghidupkan kawasan Pecinan Jamblang memang tak main-main. Peta wisata dipasang di beberapa titik. ’’Kalau malam, petanya menyala,’’ kata Slamet, sang penjaga kelenteng.

Di beberapa sudut juga terlihat dinding-dinding yang dicat agar lebih ayu. Lebih instagrammable. ’’Itu mau jadi kafe,’’ ucap Herwanto seraya menunjuk bangunan di sisi selatan lapangan depan kelenteng. 
 

Tiga pelajar melintas di depan gerbang Vihara Dharma Rakhita, Cirebon.-Yulian Ibra-Harian Disway-

 

Ya, pelestarian warisan budaya peranakan memang terasa sia-sia jika pada akhirnya tidak ada yang menikmatinya. Seperti rumah-rumah antik yang mengelilingi Kelenteng Jamblang. Pada akhirnya hanya akan menjadi bangunan tua yang teronggok menunggu roboh kalau tidak ada yang merawatnya… (*)
 
Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada.
 
SERI BERIKUTNYA : Rumah Geladak yang Hangat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: