Series Jejak Naga Utara Jawa (78) : Menjadi Tionghoa, Mencintai Indonesia

Series Jejak Naga Utara Jawa (78) : Menjadi Tionghoa, Mencintai Indonesia

UDAYA HALIM (depan, tengah) International Peranakan Convention 2018 di Universitas Tarumanegara.-Udaya Halim untuk Harian Disway-

Perjalanan hidup Udayanimmalatta Halim membentuknya menjadi sosok seperti sekarang ini. Pendidik. Pencinta budaya. Pegiat kesetaraan. Pembawa misi persatuan. Semua juga terangkai dalam kiprahnya di organisasi Persaudaraan Pertiwi. Peranakan Tionghoa Warga Indonesia.
 
UDAYA Halim lahir tujuh dekade silam di kawasan Pasar Lama Tangerang. Benar-benar di jantung Tangerang. Yang juga dikenal sebagai wilayah Cina Benteng karena menjadi salah satu pusat permukiman warga Tionghoa di situ.

Pada 1953, saat Udaya lahir, Orde Baru memang belum ada. Begitu juga peraturan yang mengekang kebebasan warga Tionghoa. Tetapi, warga Tionghoa sudah mengalami beberapa riak kerusuhan rasial, yang sebagian penyebabnya terasa pelik dan tidak bisa begitu saja dilihat hitam-putihnya.

Di Tangerang, misalnya. Pada 1946, dalam suasana karut-marut revolusi pasca kemerdekaan, pernah ada kerusuhan rasial. Waktu itu disebut sebagai Gedoran China. Beberapa mencatat bahwa sekitar 10 ribu orang terbantai.

Jauh sebelum itu, ada Geger Pecinan di Batavia pada 1740. Kami pernah menulis pada seri-seri sebelumnya, bahwa kerusuhan itu juga membuat lebih dari 10 ribu warga Tionghoa tewas. Ratusan ribu lain mengungsi ke berbagai daerah. Termasuk ke Tangerang dan wilayah-wilayah lain di sebelah timur Batavia. Bahkan sampai ke Lasem.
 

Nah, Udaya tumbuh sebagai bocah Tionghoa yang tinggal di kawasan perniagaan tradisional. Di tengah-tengah pasar. ’’Dulu, jalan di pasar itu tempat saya main bola,’’ ucap lelaki kelahiran 26 Maret 1953 tersebut.

Ada satu cerita yang masih dikenangnya sampai sekarang. Tentang seorang tukang gigi yang mengontrak bagian sisi kiri rumah besar yang kini menjadi Museum Benteng Heritage itu. ’’Orangnya tinggi besar dan terkenal paling galak di seantero anak-anak Pasar Lama,’’ katanya.

Tukang gigi ini pemarah. Terutama kalau ada anak main bola dan mengenai pintu tempat usahanya. Suatu saat, bola yang dimainkan Udaya malah masuk ke dalam rumah. ’’Eh, nggak tahunya, bolanya dikempesin oleh si Empe’ (paman, Red) Tukang Gigi,’’ tuturnya.

Udaya yang baru berumur 10 tahun pun balas dendam. Papan usaha tukang gigi itu ditulisi, ditambahi huruf T. Jadinya, kalimat Tukang Gigi menjadi Tukang Gigit. Alhasil, Udaya justru dimarahi yang sang ayah yang mendapat laporan dari empe’ tukang gigi tersebut.

Dan saat tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa berkunjung ke Museum Benteng Heritage, ada papan nama yang tua. Tulisannya: Djie Tjin, Tukang Gigit
 

PAPAN NAMA tukang gigi tradisional yang dulu menempati Museum Benteng Heritage. Papan nama itu ditambahi huruf T sehingga terbaca tukang gigit.-Doan Widhiandono-Harian Disway-

Karena itu, Udaya benar-benar menjadi saksi pasang surut kehidupan masyarakat Tionghoa. Termasuk ketika represi Orde Baru membuat kebudayaan Tionghoa tidak bisa berkembang. Dilarang.

Pengalaman panjang itu, tidak bisa disangkal, ikut menggerakkan Udaya sebagai pemerhati budaya sekaligus pegiat kesetaraan. Itu tampak pada lahirnya Persaudaraan Pertiwi. Kepanjangannya adalah Peranakan Tionghoa Warga Indonesia. Organisasi ini ’’dibidani’’ oleh Museum Benteng Heritage. Spiritnya sama, yakni pelestarian budaya Tionghoa di Indonesia. Baik dalam bidang kuliner, musik, kekerabatan, tata busana, dan sebagainya.

Pertiwi lahir dengan landasan kalimat filosofi Konghucu. Yakni, di empat samudera, kita bersaudara. ’’Artinya, di mana pun manusia berada, sejatinya kita semua saudara,’’ kata Udaya.

Pertiwi juga menggagas persaudaraan dan jiwa nasionalisme.  ’’Karena orang Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia yang tidak terpisahkan. Orang Tionghoa juga punya hak untuk bilang Indonesia tanah air beta,’’ paparnya. Tetapi, konsekuensinya, warga Tionghoa pun punya tanggung jawab yang sama untuk ibu pertiwi.

Dalam perjalanannya, kiprah Persaudaraan Pertiwi akhirnya menjulur ke banyak hal. Banyak kegiatan. Juga melintas batas wilayah. Udaya mengirim berbagai foto kegiatan yang mereka lakukan. Misalnya, festival kebaya, pehcun atau festival perahu naga, juga bantuan kemanusiaan untuk para korban bencana.
 

ACARA KWEE PANG (guofang) budaya untuk simbolisasi berbagi kebahagiaan dan penyatuan orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda.-Udaya Halim untuk Harian Disway-

Kiprah Udaya pun mendapat pengakuan secara internasional. Pada 2014, ia menjadi satu dari dua wakil United Nation Global Compact Indonesia. Udaya meneken akta integritas bersama Sekjen PBB Ban Ki-moon For The Role of Business in Promoting Intercultural and Interreligious for Peace and Harmony. Kepercayaan yang sangat besar, terutama terkait tanggung jawab mempromosikan kesatuan antarbudaya dan agama demi perdamaian dan keharmonisan.

Meski hanya lulusan SMP, Udaya bisa menjadi pendidik dalam berbagai ranah. Termasuk melalui kegiatan dan keteladanan bersama Persaudaraan Pertiwi. Tak jarang, Udaya diundang beberapa kampus ternama untuk berbicara tentang kebudayaan dan kesetaraan. ’’Tahun lalu, saya diundang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ngasih kuliah tentang budaya Tionghoa di Prodi Sinologi,’’ katanya.

Segala kiprah Udaya tercatat dan berserak dalam ruang-ruang digital yang bisa Anda cari. Itu sekelumit bukti bahwa ada banyak cara untuk mencintai budaya Tionghoa sembari membangun spirit untuk persatuan Indonesia… (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: