Series Jejak Naga Utara Jawa (7): Jawa-Tionghoa-Santri Lawan VOC

Series Jejak Naga Utara Jawa (7): Jawa-Tionghoa-Santri Lawan VOC

Tim Ekspedisi Harian Disway mengamati patung monumen perjuangan rakyat Lasem melawan VOC di Kelenteng Cu An Kiong, Lasem.-TIRA MADA-HARIAN DISWAY-

Geger Pecinan pada 1740 membawa dampak dahsyat. Ribuan warga Tionghoa dari Batavia melarikan diri ke berbagai daerah di pesisir utara Jawa. Termasuk ke Cirebon, Semarang, dan Rembang. Di Lasem, kecamatan mungil di tengah Kabupaten Rembang, mereka berjuang melawan VOC. Bergandeng tangan dengan elemen-elemen masyarakat lokal. 

 

CERITA tentang Geger Pecinan membawa tim Ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa ke Lasem. Yang terletak di timur laut Semarang. Sekitar 133 km dari ibu kota Jawa Tengah itu. Kota itu dikenal sebagai Tiongkok Kecil. Saking kentalnya sejarah dan peninggalan budaya Tionghoa di sana. 

 

Peninggalan itu tak hanya tampak dari bentuk-bentuk bangunan tuanya yang masih khas Tionghoa banget. Atau dari lampion-lampion merahnya yang menghiasi berbagai ruas jalan. Tapi juga dari tiga kelentengnya yang masing-masing berusia ratusan tahun. Mereka tak hanya difungsikan sebagai tempat ibadah. Melainkan juga saksi sejarah. 

 

’’Kelenteng-kelenteng ini berkait erat dengan cerita kepahlawanan rakyat Lasem,’’ kata Baskoro Pop, co-founder Kesengsem Lasem, sebuah komunitas yang peduli terhadap warisan budaya Lasem. ’’Di kelentenglah kita bisa melihat betapa Lasem itu dibangun oleh koalisi tiga unsur. Yaitu Jawa, Tionghoa, dan kalangan santri,’’ lanjut pria yang akrab disapa Pop itu. 

 

Hal itu sangat terlihat di Kelenteng Cu An Kiong. Yang disebut-sebut sebagai kelenteng tertua di Jawa. Lokasinya di Jalan Dasun, desa Soditan. Sekitar 100 meter dari jalan raya Lasem-Rembang. Kompleksnya luas. Kalau tidak sedang digunakan untuk ibadah, kelenteng ditutup dengan pintu harmonika warna merah. Namun, ada satu hal sisi kiri halamannya yang membetot perhatian.

 

Di kelenteng yang dibangun pada abad ke-16 itu, berdirilah sebuah monumen perang. Namanya Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC. Panjangnya hampir delapan meter. Tingginya sekitar dua meter. Menampilkan sosok-sosok pemimpin yang berhadapan langsung dengan serdadu Belanda.  

 

Jika diperhatikan, para pemimpin Lasem mengenakan kostum beragam. Ada yang memakai blangkon, surban, hingga yang rambutnya panjang dan dikuncir seperti Wong Fei Hung. Mereka membawa keris, parang panjang, serta pedang. ’’Memang para pemimpin daerah di sini bekerja sama dengan kalangan santri dan panglima perang Tionghoa,’’ jelas Pop. 


Patung Raden Panji Margono di altar persembahyangan Kelenteng Gie Yong Bio, Lasem. Patung ini digambarkan berpakaian beskap, jarik, dan blangkon.-Yulian Ibra-Harian Disway-

 

Di monumen itu, yang berdiri paling depan adalah Tan Sin Ko, alias Babah Singseh. Di kanannya ada Souw Phan Ciang alias Khe Panjang dari Batavia. Di belakangnya ada Raden Mas Said atau Mangkunegara. Lalu menyusul Oei Ing Kiat, Raden Panji Margono, Tan Kee Wie, dan Bupati Martopuro. 

 

’’Perang kuning. Monumen ini menggambarkan Perang Kuning atau Perang Lasem,’’ kata Pop datar. 

 

Perang Lasem adalah dampak langsung dari Geger Pecinan. Akibat pembantaian terhadap lebih dari 10 ribu warga Tionghoa di Batavia itu, banyak yang kabur ke Lasem. Alasannya, karena daerah itu dipimpin seorang Tionghoa. Yakni Oei Ing Kiat, yang bergelar Tumenggung Widyaningrat. Benar saja. Para imigran Tionghoa itu disambut hangat. Mereka diizinkan membuka perkampungan baru. 

 

Sementara itu, di Batavia, seorang pemberontak bernama Souw Phan Ciang alias Khe Panjang mengobarkan perlawanan terhadap VOC. Ia membentuk laskar yang menyerang kantong-kantong pertahanan kumpeni. Berlanjut ke daerah-daerah lain. Hingga akhirnya, pada 1741, pasukannya tiba di wilayah Kerajaan Mataram. 

 

Di sinilah pasukan Khe Panjang bertemu dengan Tan Sin Ko, panglima perang Mangkunegara 1. Mereka lantas berkoalisi melawan Belanda. Bersama dengan pemimpin-pemimpin daerah yang sosoknya diabadikan di monumen di halaman Kelenteng Cu An Kiong tadi. 

 

BACA JUGA: Harta Karun dari John Lie

 

Perang Lasem berkecamuk selama sekira dua tahun. Lasem kalah. Panglima-panglimanya gugur sebagai pahlawan. Bukan hanya pahlawan dalam melawan penjajah. Mereka juga menjadi ikon keharmonisan masyarakat Tionghoa dengan suku Jawa di Lasem pada saat itu. 

 

Setelah perang selesai, warga mendirikan kelenteng untuk mengenang perjuangan para penglimanya. Namanya Kelenteng Gie Yong Bio. Ia diperkirakan selesai dibangun pada 1780. Lokasinya di jalan Babagan, Tawangsari, Lasem. Lebih kecil daripada Cu An Kiong. Tapi tak kalah menarik. 

 

Di salah satu altar persembahyangannya, terdapat patung Raden Panji Margono. Ia adalah putra sulung Pangeran Tejakusuma V, Adipati Lasem. Setelah pemberontakan di Mataram reda pada 1720-an, ia seharusnya bertugas menggantikan kedudukan ayahnya. 

 

’’Tapi beliau enggak mau. Malah memilih jadi petani. Bareng penduduk Tionghoa di Lasem,’’ ungkap Pop. ’’Gara-gara itu, jabatan adipati Lasem diserahkan kepada sahabatnya, Oei Ing Kiat. Itulah cikal bakalnya Lasem dipimpin seorang saudagar Tionghoa,’’ paparnya. 

 

Lasem punya satu kelenteng lagi. Yakni Po An Bio. Berdiri pada 1740, setahun sebelum perang. Yang menarik, di sampingnya terdapat Vihara Maha Karunia. Dan di dekatnya lagi ada sebuah pesantren. Rupanya, kehidupan antaragama, etnis, dan golongan yang begitu harmonis masih terjaga kuat di Lasem. Tiongkok kecil yang indah, manis, sekaligus bersejarah. (*)

 

*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, dan Tira Mada

 

Seri selanjutnya: Pahlawan yang Dihapus dari Sejarah... (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: