Series Jejak Naga Utara Jawa (8): Pahlawan yang Dihapus dari Sejarah
Makam Tan Sinko alias Babah Singseh, panglima perang Lasem yang sangat sederhana di tengah areal persawahan di Desa Dorokandang, Lasem.-FOTO: YULIAN IBRA-HARIAN DISWAY-
Berbicara soal warisan Tionghoa di Lasem, haram hukumnya jika tak membicarakan Tan Sin Ko. Pria yang oleh warga setempat dipanggil Babah Singseh itu berjasa besar dalam Perang Kuning. Yakni, perlawanan warga Lasem terhadap VOC yang merupakan efek langsung dari Geger Pecinan.
---
TIM Ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa memarkir mobil di tempat yang agak lapang. Di areal persawahan di Dusun Narukan, Desa Dorokandang, Lasem. Dari situ, kami harus berjalan di sela-sela pematang sawah. Kanan kirinya adalah tanaman padi yang masih hijau. Tingginya selutut orang dewasa.
Kami menempuh perjalanan membelah sawah itu untuk melihat makam Tan Sin Ko. Panglima perang Prabu Mangkunegara I, penguasa Keraton Solo. Ia memimpin rakyat Lasem dan Rembang melawan VOC pada 1741. Dalam pertempuran yang disebut Perang Kuning atau Perang Lasem. Yang muncul akibat peristiwa Geger Pecinan di Batavia setahun sebelumnya.
Butuh waktu bermobil sekitar 10 menit dari pusat kota Lasem untuk menuju areal persawahan itu. Bisa dibayangkan, tiga abad silam, betapa jauhnya lokasi makam itu dari peradaban. Betapa terpencilnya.
’’Memang, oleh Belanda, Tan Sin Ko ini sengaja dimakamkan jauh sekali dari permukiman penduduk. Biar cerita kepahlawanannya terkubur. Biar enggak ada yang ingat,’’ tutur Baskoro Pop, co-founder Kesengsem Lasem, sebuah komunitas yang bergerak dalam pelestarian warisan budaya di Lasem.
Taktik Belanda berhasil. Saat ini, anak-anak muda Lasem—bahkan yang sudah sepuh pun—tidak mengenal Tan Sin Ko. Mereka tahu, ada bong (makam Tionghoa) di sawah. Mereka tahu, itu bong-nya Babah Singseh. ’’Tapi mereka enggak tahu, Babah Singseh itu siapa,’’ jelas salah satu pendiri Yayasan Lasem Heritage itu dengan nada prihatin.
Tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway melintasi areal persawahan menuju makam panglima Lasem.-FOTO: YULIAN IBRA-HARIAN DISWAY-
Setelah berhasil menghindari insiden tercebur di sawah, kami tiba di depan sebuah bong. Dibandingkan kuburan-kuburan warga Tionghoa zaman sekarang, makam Babah Singseh sangatlah sederhana. Hanya berupa cor-coran semen yang dicat putih. Dengan bentuk simpel minim ornamen.
BACA JUGA: Jawa-Tionghoa-Santri Bersatu Lawan VOC
Makam itu menghadap ke timur. Menyongsong puncak Gunung Lasem. Ini memang tak lazim bagi makam Tionghoa yang biasanya justru berada pada lereng gunung dan menghadap ke arah air.
Nisannya berbentuk setengah lingkaran. Ada papan nama marmer hitam bertulisan aksara Tionghoa. Chenxinguo chenghao xiansheng zhi mu. Jika diterjemahkan, maknanya Tomb of Mr Chen Xinguo. Atau kuburan Tuan Tan Sin Ko.
Pada bagian bawah tertulis, Welahan, 1743. Diperkirakan, Babah Singseh tewas di Welahan, Demak, pada akhir Perang Lasem. Pada Oktober 1742. Namun, angka 1743 pada makam itu—diduga—merujuk pada pembangunan makam.
Tanah di depan nisan cukup bersih. Namun, bagian dalam kuburan ditumbuhi semak belukar. ’’Ini sudah mendingan. Dulu, lebih enggak terurus lagi. Granit-granitnya malah dijarah warga untuk dijual,’’ kata Pop. ’’Tapi ya wajar, sih. Mereka tidak mengenal pahlawannya sendiri,’’ lanjut lelaki 46 tahun itu.
Kini, di samping kiri makam itu, ada papan petunjuk yang juga dibuat dari marmer. Papan itu dibangun tak lama setelah makam Babah Singseh ditemukan. Yakni pada April 2016. Ya, baru sekitar tujuh tahun yang silam.
Pop, pria berkacamata yang periang itu, lantas menceritakan kisah Babah Singseh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: