Series Jejak Naga Utara Jawa (77) : Pendidik Sekaligus Orang Gila

Series Jejak Naga Utara Jawa (77) : Pendidik Sekaligus Orang Gila

UDAYA HALIM memegang lukisan Dewa Kuixing, atau Dewa Pendidikan dari Dinasti Han. Lukisan itu kini tersimpan di Museum Benteng Heritage di Tangerang, sebagai pengingat tujuan pendirian museum. -Udaya Halim untuk Harian Disway-

Udaya Halim menghabiskan waktu dua tahun lebih untuk mendandani sebuah rumah tua di Tangerang. Menjadi Museum Benteng Heritage yang mempesona. Biayanya sangat besar. Namun, ia sama sekali tidak mencari cuan dari museum tersebut.

TUJUH puluh tahun yang lalu, 26 Maret 1953, Udayanimmalatta Halim lahir di Tangerang. Di daerah kini jadi tempat berdirinya Pasar Lama. Rupanya, ia warlok kawasan Benteng. Warga lokal. ’’Jalan itu dulu lapangan bola saya. Begitu pasar bubar, anak-anak main bola di jalan,’’ kenang Udaya, ketika berbincang dengan tim Jejak Naga Utara Jawa, 5 April 2023. 

Keluarganya tinggal di Jalan Cilame. Di seberang bangunan yang sekarang dijadikan Museum Benteng Heritage. Udaya menyaksikan ketika rumah tersebut masih berfungsi sebagai hunian. Ada beberapa keluarga yang menempati. Salah seorang di antaranya kakek-kakek. Udaya bahkan ingat namanya.  
 

Ketika Udaya membeli rumah itu pada 2009, kondisinya sudah mengenaskan. Bagian depannya digunakan untuk toko. Tapi tak terurus. Bale-bale, gerobak, hingga peti-peti barang dagangan diletakkan sembarangan di halamannya. Kumuh. 

Proses restorasi digeber segera setelah bangunan dua lantai itu jadi miliknya, pada November 2009. Ia memegang prinsip maximum retaining, minimum replacing. Sebanyak mungkin mempertahankan aslinya dan meminimalisasi penggantian.    

Sebisa-bisanya Udaya mempertahankan apa yang bisa dipertahankan. Misalnya lantai rumah yang berupa ubin terakota. Waktu ia beli, lantainya kotor dan menghitam. Tapi masih kuat. Maka, ia memilih menyikatnya sampai mengilap daripada menggantinya. 

Untuk dinding, ia merobohkan partisi-partisi yang tidak perlu. Dan karena banyak yang berjamur serta geripis, lapisan semennya dikerik. Lalu diplester lagi. Yang benar-benar diganti baru adalah pintu-pintu dan jendela. Karena kayunya sudah lapuk. ’’Maklum. Rumahnya sudah tua sekali. Berdirinya kira-kira abad ke-17,’’ jelas Udaya. 
 

ALL OUT, Udaya Halim terjun langsung dalam proses restorasi Museum Benteng Heritage. Mulai menyikat lantai terakota, membersihkan relief pada void, hingga memperbaiki ornamen dinding.-Udaya Halim untuk Harian Disway-

Tidak ada literatur, dokumen—apalagi foto-foto—terkait kondisi asli bangunan. Maka, Udaya harus riset keras untuk mengembalikan rumah ke bentuk semula. Ia mencari referensi di luar negeri, melakukan kajian budaya, hingga melihat rumah-rumah serupa di kota-kota lain. Termasuk di Jakarta dan Lasem.  

Sedangkan koleksinya adalah hasil perburuan seumur hidup. Sebagian sudah ia punya sejak dulu. Sebagian lagi sengaja hunting untuk ditaruh di dalam museum. ’’Macem-macem. Ada yang dapat di Tiongkok, Hongkong, Malaysia. Bahkan ada yang saya dapat dari tetangga-tetangga sekitar Benteng,’’ kata Udaya. 

Salah satu yang ia dapat dari tetangga adalah sepatu kecil yang dipajang di museum. Peninggalan dari tradisi kejam mengikat kaki bayi perempuan agar tidak berkembang. ’’Dulu, rumah itu dibagi jadi tiga. Yang bagian kiri adalah kios tukang gigi. Nah, itu neneknya kakinya kecil,’’ kenang Udaya. 

Proses restorasi tuntas pada akhir 2011. Udaya meresmikannya sebagai Museum Benteng Heritage pada 11 November 2011. Kini, rumah itu tak hanya menjadi tempat memajang benda. Tapi juga pusat aktivitas peranakan yang kerap menggelar event. Diskusi, seminar, hingga aneka festival. Demi memupuk cinta terhadap Indonesia.

Kerja keras Udaya tak sia-sia. Museum Benteng Heritage meraih berbagai penghargaan. Misalnya, Cipta Award 2012 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Lalu meraih medali emas dalam FIABCI Indonesia 2013. Serta pemenang kedua Prix D’Exellence Awards 2013 se-Asia Pasifik untuk kategori Restorasi/Konservasi. 

Udaya enggan menyebut berapa uang yang ia gelontorkan untuk mendirikan museum. Yang pasti, tidak balik modal. Mengandalkan cuan dari tiket masuk pengunjung yang hanya Rp 20 ribu jelas tak mungkin. ’’Untung itu kan bentuknya ada dua. Profit dan benefit. Kalau profit, mungkin enggak. Tapi saya merasakan benefit yang besar dari museum ini,’’ kata Udaya. 
 

Wajah asli rumah kuno sebelum dirombak menjadi museum. Foto bawah, Museum Benteng Heritage yang tampak cantik setelah renovasi.-Udaya Halim untuk Harian Disway-

Apa benefitnya? ’’Saya bisa membuktikan bahwa saya seratus persen Indonesia. Ini juga jadi cara saya untuk mengingatkan temen-temen Tionghoa bahwa mereka juga punya tanggung jawab menjaga Indonesia,’’ paparnya. 

Ngomong-ngomong, kenapa Udaya mau repot-repot membuat museum? ’’Ya, mungkin saya dibilang gila,’’ celetuknya, lalu tersenyum.  

Aksinya itu didorong oleh cintanya sebagai pendidik. Ya, pada 1981, pria lulusan SMP itu mendirikan kursus bahasa Inggris bernama King’s English Course. Tempat kursus itu berkembang sangat pesat, hingga digandeng sebagai mitra British Council. Pada 2004, ia kembali mendirikan sekolah bernama Prince’s Creative School. 

’’Sebagai pendidik, saya selalu bilang, kita harus belajar dari masa lalu untuk mempersiapkan masa depan,’’ jelas Udaya. Nah, ia sudah punya sekolah dan tempat kursus. Ia ingin melengkapinya dengan membuat lembaga pendidikan informal. ’’Mendirikan museum adalah bagian dari pendidikan kebangsaan melalui jejak-jejak budaya,’’ tegasnya. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: