Series Jejak Naga Utara Jawa (55) : Multikulturalisme dalam Selembar Kain
Kekayaan warna batik tiga negeri yang dijual di Oemah Batik Tiga Negeri, Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-
PERJALANAN batik Tiga Negeri, yang harus melewati proses pewarnaan luar biasa panjang, sungguh memukau. Dari Lasem dibawa ke Pekalongan, lalu diboyong ke Solo. Menempuh jarak ratusan kilometer—di saat alat transportasi belum secanggih sekarang. Hanya demi mendapatkan warna yang sempurna.
Ngomong-ngomong, kenapa batik khas Lasem harus mengandung unsur merah, biru, dan cokelat? Well, tiga warna tersebut mewakili tiga budaya yang membentuk Lasem pada masa itu. Ketika seni membatik dikembangkan oleh para imigran Tiongkok yang mendarat di sana pada abad ke-19. Di Lasem ada warga Tionghoa, Belanda, serta orang Jawa.
Warna merah getih pitik adalah perwakilan dari budaya Tionghoa. Melambangkan kebahagiaan, keceriaan, dan kemenangan. Biru indigo merupakan pengaruh dari kebudayaan Belanda. Tenang dan adem. Sedangkan cokelat soga merupakan representasi budaya Jawa. Yang terkenal anggun, penuh tata krama, serta arif dan bijaksana.
’’Teknik pewarnaan di tiga kota itu bertahan dari zaman Belanda sampai era modern, lho. Sampai akhir 90-an masih ada yang seperti itu,’’ terang Shafind Firstnanda Aditya, staf Rumah Merah Heritage.
Kompleks penginapan itu juga merilis produk batik yang diberi label Oemah Batik Tiga Negeri. Di lorong yang menghubungkan dua bangunan, terdapat museum yang mengisahkan sejarah batik Tiga Negeri. Shafind sempat menunjukkan kepada kami proses-proses pewarnaan setiap kain. Dari kota ke kota. Sampai menjadi karya wastra utuh bernilai tinggi.
’’Kalau sekarang, sih, kebanyakan rumah batik di Lasem sudah memakai pewarna kain sintetis. Jadi sudah enggak perlu jalan-jalan ke tiga kota lagi,’’ tutur Shafind.
Shafind Firstnanda Aditya menunjukkan motif dan warna batik tiga negeri khas Lasem.-Retna Christa-Harian Disway-
Fakta itu tak mengurangi kekaguman tim Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway terhadap batik Tiga Negeri. Ia memang tak memiliki motif spesifik seperti batik sinografi milik Sigit Witjaksono. Tidak juga mengandung cerita khas Tiongkok ala batik karya Gouw Yang Giok di Cirebon. Namun, setiap kainnya merupakan bukti asimilasi budaya yang sempurna.
Motif batik Tiga Negeri memadukan motif-motif pesisir utara Jawa dan pedalaman. Motif-motif pesisir itu, contohnya, buket flora dan fauna.
Bahkan, menurut Harmen C.Veldhuisen dalam buku Batik Belanda 1840-1940: Dutch Innuence in Batik from Java, History and Stories, pada akhir 1800-an batik Tiga Negeri terpengaruh oleh art nouveau. Sebuah gaya seni dekoratif yang berkembang di Prancis.
Motif yang populer, salah satunya, adalah buketan bunga seruni. Melambangkan keceriaan dan kegembiraan. Sekaligus menjadi penanda datangnya musim gugur bagi masyarakat Tiongkok. Ketika motif itu dibawa ke Indonesia, bunga tersebut menjadi simbol keindahan. Sekaligus menjadi lambang keseimbangan. Terlebih jika dipadukan dengan motif kupu-kupu dan burung.
Sosok-sosok binatang mitologis Tionghoa, seperti burung hong dan naga, juga banyak nongol dalam batik Tiga Negeri. Demikian pula dengan bunga teratai. Yang sering kita lihat mengambang permukaan kolam istana-istana Kaisar Tiongkok.
Terdapat pula bunga-bunga khas Eropa, seperti mawar dan tulip. Bentuk-bentuk itu ’’dicomot’’ setelah para pembatik memperhatikan busana noni-noni Belanda yang menetap di Lasem. Motif-motif itu banyak muncul di gaun kaum perempuan bangsawan maupun kain-kain para lelakinya.
Sementara itu, pengaruh budaya Jawa terpancar kuat melalui motif-motif parang maupun kawung. Mungkin tidak dominan seperti halnya batik-batik dari Solo. Tapi mereka terselip di antara motif-motif bunga maupun watu kricak (batu kerikil) yang mendominasi batik Tiga Negeri.
Para pembatik Oemah Batik Tiga Negeri, Lasem, merampungkan karya mereka di Jalan Karangturi IV.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Di Lasem, masih ada beberapa rumah batik yang sudah beroperasi selama puluhan tahun. Misalnya rumah batik Nyah Kiok, di Karangturi. Juga rumah batik Maranatha, Lumintu, serta Kidang Mas. Rata-rata usahanya dipegang oleh generasi keenam atau ketujuh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: