Series Jejak Naga Utara Jawa (48) : Paduan Megamendung dan 12 Lambang Shio

Series Jejak Naga Utara Jawa (48) : Paduan Megamendung dan 12 Lambang Shio

Batik berwarna biru lembut yang menggambarkan anak-anak kaisar Tiongkok sedang bermain saat Cap Go Meh.-Doan Widhiandono-Harian Disway-

Batik peranakan produksi Gouw Yang Giok sangat unik. Motif khas Cirebon, yakni megamendung, dipadukan dengan figur-figur Tionghoa. Tak hanya sangat cantik, tapi juga sarat cerita. 

KOTA-kota di pantai utara Jawa rata-rata punya batik peranakan. Pekalongan, Lasem, Rembang, terkenal dengan motif batik yang khas. Tapi, batik peranakan Cirebon beda. Daerah itu punya motif megamendung. Yakni berupa gambar awan dalam warna-warna tegas. Awalnya hanya merah dan biru. Tapi, lama-lama kombinasi warnanya makin bervariasi.

’’Kebetulan ayah saya itu doyan cerita. Dulu saya dan adik-adik sering didongengi,’’ Gouw Yang Giok berkisah, mengenang sang ayah, Gouw Tjin Lian. ’’Makanya saya kalau bikin batik juga ada ceritanya. Ada gambar barongsai, anak-anak kaisar lagi bermain, ada cap ji shio, macem-macem,’’ tutur Giok, sapaan akrab dia. 

Perempuan yang punya nama Indonesia Indrawati itu lantas menuju lemari kayu kuno yang ada di teras rumah dia. Ketika dibuka, tampaklah tumpukan kain batik yang terlipat rapi. Dia meraih kain di rak kedua. Warna dasarnya kuning cerah. Dengan lekuk-lekuk motif megamendung paduan biru tua dan biru muda.   
 

’’Ini yang saya bilang cap ji shio,’’ tutur Giok, lantas membeber kain itu di atas sandaran kursi. Tim Jejak Naga Utara Jawa bersiap memotret. ’’Eh, ini kebalik. Nanti Anda motretnya kebalik. Kasihan tikusnya,’’ celetuk Giok.  

Ya, di antara awan-awan megamendung yang cantik itu, terdapat gambar 12 binatang yang melambangkan shio. Anjing, harimau, babi, naga, kelinci, dan ayam. Juga tikus, kerbau, kuda, monyet, ular, serta kambing. Mereka diberi warna biru, abu-abu, hingga salem. Lucu-lucu. Menggemaskan. 
 

Kain batik dengan motif lambang-lambang shio yang berpadu dengan megamendung.-Doan Widhiandono-Harian Disway-

Tim Jejak Naga Utara Jawa saling mencari shionya. ’’Siapa yang shio kuda? Tahun ini kuda harus hati-hati. Tadi di wihara dibilangin gitu,’’ ucap Giok, sembari menelusur gambar-gambar di atas batik tersebut. ’’Kalau naga sih, baik-baik aja. Eh, kok saya jadi astrolog,’’ Giok bergumam.  

Dengan cekatan, dia mengambil kain lain dari rak ketiga. Dia beber di atas batik shio. Kali ini warna dasarnya french blue. Motifnya cute. Menggambarkan anak-anak kaisar Tiongkok sedang bermain-main saat cap go meh. Ada yang menari kipas, ada yang membawa payung, berlari-larian. Di sela-sela mereka, terlihat guci-guci dan bebungaan dalam pot khas Tiongkok. 

Kain ketiga yang dia tunjukkan memiliki warna dasar blok oranye. Sesosok barongsai merah dan hijau tosca berdiri di atas rangkaian awan megamendung. Di sela-selanya, terdapat motif ikan koi, matahari, dan mahkota bunga. Ada lagi batik yang menggambarkan taman kelinci kerajaan. Kelinci-kelinci putih dan merah berlarian di atas selembar kain berwarna biru muda.  

’’Ayah saya punya banyak kain-kain dari Tiongkok. Gambar-gambarnya begini. Itulah yang menginspirasi saya untuk bikin batik dengan motif-motif seperti ini,’’ tutur perempuan kelahiran 16 November 1943 tersebut. 

Soal warna, batik-batik Giok memang anti-mainstream. Berbeda dengan batik peranakan lain dari Pekalongan dan Lasem, misalnya. Dia banyak menggunakan warna primer dan sekunder yang tegas. Namun tidak mencolok. Merahnya kalem. Orange-nya tidak ngejreng. Biru pun dipilih shade yang lembut. 

Sebagian besar koleksi batik yang ada di lemari itu adalah hasil repro. Sebab, batik asli peninggalan produksi orang tua dia sudah rusak. Maka, motif-motifnya dia selamatkan lewat pembuatan ulang. Agar tak hilang ditelan zaman. 

Dari sebegitu banyak motif, mana yang jadi favorit Giok? ’’Semua, dong. Biar dibeli semua,’’ kata dia, lantas tertawa. 
 

Batik Sawat Gribik yang pembuatannya memakan waktu 13 bulan. Gouw Yang Giok menunjukkan satu titik yang disebutnya sebagai cacat produksi.-Retna Christa-Harian Disway-

Giok lantas mengeluarkan salah satu koleksi dia yang tergolong mahal. Namanya Sawat Gribik. Sangat, sangat rumit, dan sangat detail. Memadukan motif-motif geometris, bunga, dan sedikit megamendung. Alhasil, pembuatannya juga lama. Selembar kain memakan waktu paling sedikit 13 bulan. Tingkat kesulitan itu membuat Giok berani memasang harga fantastis. Yakni Rp 50 juta. 

Satu batik Sawat Gribik tersimpan di lemari rumah Giok. ’’Ada cacat pada polanya. Saya ndak mau jual,’’ ucap Giok. Tangan rentanya menelusuri kain sepanjang 2,7 meter itu. Ketemulah pola yang dibilang ’’cacat’’ itu. Ternyata hanya berupa setitik noda tinta. Kecil sekali. Tak akan terlihat kalau tidak dipelototi. 

’’Ndak, lah. Kalau memang ada yang mau beli, nanti kita buatin lagi. Kamu mau?’’ Giok bertanya kepada tim Jejak Naga Utara Jawa. Waduh, harus jual tas Chanel dulu, nih(*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: