Series Jejak Naga Utara Jawa (47) : Batik Warisan Selir Keraton Kanoman
Reporter:
Tim Harian Disway *)|
Editor:
Retna Christa|
Rabu 22-03-2023,19:26 WIB
Mengenakan tunik batik khas Cirebon, Gouw Yang Giok (kanan) menceritakan asal mula batik yang diproduksinya.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
Cirebon punya batik dengan motif peranakan. Yakni megamendung. Namun, di tangan Gou Yang Giok, motif-motif awan dalam warna-warna tegas itu bisa berpadu serasi dengan figur-figur khas Tionghoa. Mulai dari barongsai, teratai, hingga dua belas lambang shio.
INILAH hidden gem yang sesungguhnya. Ketika tim Jejak Naga Utara Jawa memasuki jalan Kanoman, Cirebon, pada Senin, 16 Januari 2023, matahari sudah condong ke barat. Gerimis, pula.
Ruko-ruko tua dengan cat warna-warni di sisi kanan kirinya tak terlihat dari jalan. Tertutup deretan pedagang kaki lima yang memenuhi sempadan jalan. Sampai memakan separo trotoar. Itu memang daerah Pasar Kanoman. Aktivitas warga superpadat.
Kami memarkir kendaraan di satu-satunya slot parkir yang tersisa. Dekat sebuah warung tenda. Lalu berjalan di sela-sela trotoar dan kios-kios yang barang dagangannya meluber ke depan. Hingga tiba di depan toko besar berpintu kayu yang tertutup rapat. Catnya oranye tua, dan sudah agak pudar. ’’Ini tempatnya,’’ kata Ade Gustiana, wartawan Radar Cirebon (Disway National Network/DNN) yang menemani kami.
Ha?
Tak ada nama toko, tak ada etalase megah. Tak ada juga manekin-manekin langsing yang memeragakan busana-busana batik kekinian. Toko itu ada plang namanya. Disponsori sebuah perusahaan ekspedisi. Tapi lokasinya di lantai dua bangunan itu. Tak terlihat dari bawah. Tulisan Kanoman Batik baru bisa dilihat dari seberang jalan.
Kami diajak masuk lewat pintu kecil di samping bangunan utama. Ada ruangan sempit di situ. Isinya hanya kasir dan fasilitas packing. Terlihat beberapa rak baju yang digantungi sedikit koleksi blouse dan kain.
Tapi bukan di situ batik peranakan spesial yang kami buru.
Batik Bu Giok benar-benar tersembunyi di jantung Pasar Kanoman. Dari pintu belakang ruangan kecil itu, terlihat sebuah halaman luas. Lengkap dengan taman dan kolam ikan. Gemercik airnya bersahutan dengan gerimis yang menderas. Halaman itu rupanya memisahkan bangunan toko di depan dengan sebuah rumah megah di bagian belakang.
Rumah itu tua. Usianya hampir seabad. Dindingnya dari bata merah—yang ini hasil renovasi—dengan lantai tegel berwarna abu-abu. Seluruh perabotnya dari kayu bergaya kuno. Itu rumah Gou Yang Giok. Atau yang lebih akrab disapa Bu Giok.
Perempuan 79 tahun itu menyambut kami dengan ramah. Meskipun beberapa jam sebelumnya baru saja menemui staf duta besar negara tetangga. ’’Ngomongin batik juga,’’ kata Giok. Suara dia masih terdengar tegas. Tak seperti orang yang usianya hampir delapan dekade.
Giok mengungkapkan, dirinya adalah generasi keempat pembuat batik di keluarga. Zaman dulu, tidak sembarang orang boleh membuat batik. Apalagi orang Tionghoa. Lebih-lebih lagi kalau mau membuat motif-motif keratonan. Wah, dobel sulit. Keraton sangat tertutup. Mereka tak mau busananya disamai rakyat jelata.
Gouw Yang Giok (kiri) menunjukkan batik bermotif perempuan Jepang dan pohon bambu khas Tionghoa. Motif itu direpro dari dagangan tukang loak.-Doan Widhiandono-Harian Disway-
Namun, pada 1934, ayah Giok, Gouw Tjin Lian, berhasil mendapatkan izin dari Keraton Kanoman. Untuk membuat batik bermotif keratonan.
Kok bisa?
’’Kebeneran nih, uyut (nenek buyut, Red) saya itu generasi pertama pembuat batik. Nah, nggak tahu bener atau enggak, ya, dia itu selir dari keraton Kanoman,’’ ungkap Giok. ’’Ini katanya, lho ya. Saya enggak tahu. Kan saya belum lahir,’’ imbuh dia jenaka. Di balik masker putih yang dikenakannya, tampak Giok tersenyum jail.
’’Raja kan selirnya banyak. Kalau selirnya jelek kan nggak dicari-cari, tuh. Nah, mungkin uyut saya begitu. Dia lari ke Trusmi. Ketemulah uyut laki saya,’’ Giok bercerita. Kali ini dia tertawa kecil. Menertawakan lelucon tentang sang nenek buyut.
Kakek buyut lelaki Giok adalah pemuda Tionghoa. Mereka kemudian menikah. Eh, kalau benar nenek buyut Giok adalah selir raja, berarti Giok kecipratan darah bangsawan?
’’Enggak. Saya enggak mau juga berdarah biru. Tranfusinya susah,’’ katanya dengan ekspresi serius. Aih, nenek ini rupanya gemar membanyol!
Giok menyatakan, sang uyut sudah membuat batik sejak 1800-an. Meskipun tanpa izin dari keraton. Skill membatik diturunkan kepada kakek nenek Giok. Lalu ke ayah Giok. Dan kini ke dia dan adiknya, Gou Jenny. ’’Jadi saya generasi keempat. Generasi kelima sudah ada anak saya, Moniq,’’ tutur Giok.
Giok menspesialisasikan diri pada batik tulis berkualitas tinggi. Dia memakai label Lina’s Batik. Sedangkan Kanoman Batik, yang dipakai sebagai nama toko, itu label merek Moniq. Lebih banyak bermain di batik printing dengan motif dan desain lebih modern. Tapi masih ada ciri khas Cirebon-nya. (*)
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: