Series Jejak Naga Utara Jawa (53) : Setia Membatik Sampai Tua

Series Jejak Naga Utara Jawa (53) : Setia Membatik Sampai Tua

Para pembatik merampungkan garapan di halaman samping rumah produksi batik Sekar Kencana, Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Batik masih lestari berkat orang-orang yang masih tekun menitikkan dan menggoreskan malam panas pada lembaran kain mori. Seperti yang kami jumpai, Rabu, 18 Januari 2023 di kediaman Rini Safitri di Lasem.
 
LIMA perempuan itu meriung di halaman samping rumah Rini Safitri. Duduk di dingklik, bangku kayu, mereka mengitari tungku yang menyalakan api sedang. Memanggang lilin (malam) agar terus menerus cair.

Dengan gerak cepat, mereka menciduk lilin itu menggunakan canting. Lalu meniup ujung canting itu. Agar lilin tidak terlalu panas. Atau mengoleskan ujung canting pada selembar kain yang ada di paha kanan mereka. Kain itu menjadi terlihat sangat tebal. Seperti lembaran kulit.

Sejurus kemudian, canting itu seperti menari pada kain mori yang dibentangkan pada gawangan kayu. Meninggalkan jejak-jejak, membentuk motif. Titik. Lengkung. Garis. Atau mengisi bidang-bidang kosong.
 

Aktivitas itu juga terlihat di bagian depan rumah produksi batik Sekar Kencana yang terletak di Desa Babagan, Lasem, tersebut. Ada enam perempuan yang membatik. Beberapa pembatik menghadapi kain mori yang masih terlihat ’’kosong’’. Hanya ada sketsa dasar. Atau blok-blok warna kecil.

Bersama tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway, Rini Safitri melihat kegiatan para perempuan tersebut. Sekilas, Rini mengamati motif-motif yang sedang digambar itu. Hanya sekilas. Tentu, karena para pembatik itu sudah sangat mumpuni. ’’Sudah hafal, lah,’’ ucap Rini.

Di samping rumah, Rini memanggil seorang pembatik. ’’Sudah berapa lama kerja di sini?’’ tanya Rini. Ternyata, pembatik itu sudah bekerja sejak zaman Sigit Witjaksono, ayah Rini, mengelola batik Sekar kencana. Sejak akhir 1970-an. Saat Rini masih SD. Sehingga, pembatik itu pun tahu betul masa kecil Rini.

’’Ya itu. Mereka sudah lama-lama,’’ ujar Rini. Kata perempuan kelahiran 14 Oktober 1974 itu, ada 15-20 yang bekerja di Sekar Kencana. Beberapa ada yang datang ke tempat produksi. ’’Tetapi ada yang nggarap di rumah juga,’’ ucap anak ketiga Sigit Witjaksono-Marpat Rochani tersebut.
 

Lilin panas berada di tengah-tengah pembatik yang bekerja di halaman depan rumah produksi batik Sekar Kencana, Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Hampir seluruh pekerja, terutama para pembatik, sudah sepuh. Karena yang muda-muda lebih memilih bekerja di perusahaan yang menawarkan gaji lebih besar. Misalnya, pabrik garmen. Kata Rini, di Lasem banyak pabrik pindahan dari Tangerang, Bandung, atau Semarang. Sebab, UMR Lasem masih cukup rendah. Cocok untuk perusahaan yang butuh banyak buruh.

Akibatnya, para pembatik ya terbilang lanjut usia. Itu pun mereka bekerja tidak maksimal. Kadang sambil momong cucu. Karena sang ibu bekerja di pabrik. ’’Tiga tahun ini, kendalanya memang tenaga kerja,’’ terang Rini.

Meski begitu, Sekar Kencana tetap menjaga roda produksi. Sebulan, rata-rata mereka menghasilkan 40 lembar kain batik. Dan satu kain batik diproduksi selama kurang lebih tiga bulan. Tetapi, itu pun naik turun. Bergantung cuaca yang bisa mempengaruhi proses produksi. Di musim tanam, misalnya, para pekerja akan memilih tandur. Menanami lahan mereka.

Dengan jumlah produksi semacam itu, tentu saja Sekar Kencana akan kalah dengan perusahaan batik lain yang lebih modern. Yang batiknya memakai teknik cap hingga printing. Namun, Sekar Kencana memang memilih teguh dalam tradisi mereka. Memproduksi batik tulis. Yang setiap motifnya dihasilkan oleh kreativitas para seniman batik itu. ’’Sudah diwanti-wanti leluhur. Harus bikin batik tulis,’’ ujar Rini.
 

Rini Safitri menunjukkan kain batik produksi Sekar Kencana, Lasem.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Sekar Kencana pun mampu melebarkan sayap. Batik mereka dikirim ke berbagai daerah. Mulai beberapa kota di Jawa, Madura, Kalimantan, dan sebagainya. ’’Di Surabaya saja ada tiga toko distributor,’’ terang Rini.

Menjaga tradisi berarti menjaga kualitas. Berarti pula mereka mampu merawat pasar yang memang menggemari batik tulis bernilai tinggi. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: